Allah SWT mempunyai kekuasaan paripurna yang tidak dapat dilemahkan oleh apapun, dan tidak terikat dengan sebab apapun. Dia-lah yang menentukan nasib hamba-hamba-Nya, dan Dia pulalah yang mengatur kejadian-kejadian alam menurut ukuran dan kebijaksanaan-Nya.
Ketujuh: Menumbuhkan Rasa Takut (al-Khawf) dan Harap (al-Rajâ`)
Dalam kaidah ini, al-Ghazali tidak memberikan paparan lebih jauh mengenai al-khawf dan al-rajâ`. Hal ini kemungkinan karena dia telah membahasnya secara gamblang di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai representasi rujukan tasawuf aliran Ahl al-Sunnah.
Mengenai al-khawf, misalnya, al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, “Ketahuilah bahwa hakikat al-khawf adalah penderitaan hati karena mewaspadai kemungkinan terjadinya keburukan di masa depan. Terkadang terjadi karena mengalirnya banyak dosa, dan terkadang juga karena takut kepada Allah SWT dengan mengetahui sifat-sifat-Nya yang tentu saja akan menimbulkan perasaan takut, inilah yang paling sempurna (yang paling baik). Sebab, siapapun yang mengetahui Allah, niscaya dia akan takut kepada-Nya.”
Apa yang dikatakan al-Ghazali di atas kiranya selaras dengan firman Allah SWT yang berbunyi, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama [yang mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah].”
Sedangkan mengenai al-rajâ` atau mengharapkan pahala dan ridha dari Allah SWT, al-Ghazali mengatakan, “Al-rajâ` adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan.” Di sini, yang dimaksud al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT.
Al-Ghazali membedakan antara al-rajâ` (berharap kepada Allah) dan al-tamannîy (berandai-andai). Orang yang berharap kepada Allah adalah orang yang melakukan ketaatan dengan memohon ridha-Nya, sedangkan orang yang berandai-andai justru mengabaikan usaha karena sifat malas yang menggerogotinya.
Dari itu, seorang salik yang mengaku benar-benar mengharapkan ridha dari Allah hendaknya ia menyingsingkan lengan bajunya untuk berusaha secara sungguh-sungguh dan ikhlas sehingga ia mendapatkan apa yang diinginkannya, bukan hanya berpangku tangan. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada-Nya.”
Seorang salik yang ingin menghadap dan mendekatkan diri dengan Allah SWT harus mampu menggabungkan dan menyeimbangkan antara al-khawf dan al-rajâ`; tidak melebihkan al-khawf di atas al-rajâ` sehingga ia berputus asa dari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya, juga tidak melebihkan al-rajâ` di atas al-khawf sehingga ia mudah terjerumus ke dalam jurang maksiat dan keburukan. Ia harus berupaya untuk terbang dengan sayap al-khawf dan al-rajâ` mengikuti hembusan angin kebenaran yang bersih, sehingga ia senantiasa berdekatan dengan hadirat Ilahi.
Al-Ghazali menegaskan, bahwa orang-orang yang takut (al-khâ`ifûn) tidak hanya satu tingkatan. Menurutnya, ada beberapa tingkatan al-khâ`ifûn: pertama, khawf al-‘awâm (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keterlambatan pahala; kedua, khawf al-khâshshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan teguran; ketiga, khawf al-khâshshah al-khâshshah (takutnya orang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.
Sama halnya dengan orang-orang yang berharap (al-râjûn) yang juga ada beberapa tingkatan: pertama, rajâ` al-‘awâm (harapan orang awam), yaitu harapan mendapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan meraih sebanyak-banyaknya pahala; kedua, rajâ` al-khâshshah (harapan orang khusus), yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT; ketiga, rajâ` al-khâshshah al-khâshshah (harapan orang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhûd (menyaksikan) dan meningkatnya pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah SWT.
Kedelapan: Selalu Melakukan Wirid dan Dzikir
Dalam dunia tasawuf, wirid dan dzikir merupakan salah satu pilar tegaknya sebuah tarekat. Dan al-Ghazali menyadari betul hal ini. Bahkan ia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia sudah sampai pada tingkatan dzikir dengan al-ism al-a’zham “Allah”.
Seperti halnya al-Ghazali, para ulama tarekat secara umum mengamalkan wirid dan dzikir, di samping untuk meningkatkan kematangan jiwa, juga untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebut saja misalnya Sayyid Abdul Karim al-Jili yang telah menyusun dzikir-dzikir untuk diamalkannya sendiri dan para pengikutnya. Dzikir-dzikir yang disusunnya itu terdiri dari tiga belas nama Allah, yang mana setiap nama disebut sebanyak 100 ribu kali. Ketiga belas nama itu adalah: Lâ Ilâh-a illâ Allâh, Huwa, Hayyun, Wâjidun, ‘Azîzun, Wadûdun, Haqqun, Qahhârun, Qayyûmun, Wahhâbun, Muhayminun, dan Bâsithun.
Nama-nama tersebut ternyata juga banyak dijadikan dzikiran oleh para ulama dan para pengikut tarekat yang lain. Dalam beberapa kitab tarekat disebutkan bahwa para pengikut Sayyid Ahmad Rifa’i mengamalkan nama-nama tersebut sebagai dzikir. Juga para ulama tarekat al-Bayumiyah yang menjadikan ketiga belas nama Allah SWT tersebut sebagai dzikir. Namun, hal ini tidak lantas berarti bahwa para sufi tidak mempunyai dzikiran dan wiridan lain selain ketiga belas nama tadi. Al-adzkâr al-nabawîyyah (dzikir-dzikir Nabi saw.) dan tilâwah al-qur`ân (membaca al-Qur`an) terbuka seluas-luasnya bagi para ‘pencari akhirat’ yang dalam pengamalannya tidak membutuhkan izin dari para syaikh tarekat sebagaimana pemahaman orang-orang awam selama ini. Berdzikir dengan selain ketiga belas nama tadi bahkan disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Nabi saw.
Dan perlu diketahui, bahwa para ulama tarekat mengamalkan ketiga belas nama tersebut sebagai dzikiran berdasarkan ilham setelah sekian lamanya mereka bergelut di dunia spiritual. Di samping ketiga belas nama tadi, setiap tokoh tarekat juga mengamalkan dzikir khusus yang sesuai dengan keadaan (al-hâl) masing-masing. Setiap nama Allah yang tergabung dalam al-Asmâ` al-Husnâ mempunyai keistimewaan dan epifani yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan masing-masing tokoh. Adapun bagi para pemula atau murid yang baru memasuki dunia tarekat, hendaknya mereka mengamalkan dzikir nama-nama yang diajarkan oleh para syaikh sampai akhirnya Allah SWT membuka jalan bagi mereka dan memberikan ilham kepada mereka untuk mengamalkan dzikir-dzikir yang sesuai dengan keadaan masing-masing.
Kesembilan: Selalu Merasa Diawasi Allah (al-Murâqabah)
Murâqabah (pengawasan) juga merupakan salah satu pilar tarekat terpenting yang harus selalu ditegakkan oleh para salik. Terdapat dua murâqabah atau pengawasan yang secara umum diyakini di dalam tarekat, yaitu pengawasan Allah SWT (murâqabatullâh) dan pengawasan pembimbing spiritual (murâqabah al-musyrif al-rûhîy) terhadap hati para salik. Menurut para sufi, maksud dari pengawasan Allah SWT adalah melakukan munâjât (dialog rahasia dengan memohon ampunan, rahmat dan ridha dari Allah) seolah-olah kita sedang melihat-Nya. Para sufi mengatakan bahwa pengawasan jenis ini merupakan dasar utama bagi para pecinta Allah (al-muhibbûn) agar selalu dekat dengan-Nya. Sedangkan pengawasan pembimbing spiritual adalah pengawasan ‘teman spiritual hati’, yang dalam dunia tarekat disebut syaikh atau maha guru. Pengawasan syaikh sangat penting untuk menghindari tipuan setan. Sebab, tipuan setan yang kerapkali membayangi para murid di awal mula perjalanan mereka di dunia tarekat memerlukan ‘penolakan’ (muthâradah) yang sangat keras. Sementara spiritualitas para murid di awal perjalanan mereka terkadang tidak mampu memikul perjuangan melawan tipuan setan sendirian, sehingga mereka sangat memerlukan ‘teman spiritual hati’ guna mengawal perjalanan mereka. Kematangan jiwa-ruh dan pengaruh syaikh di dalam dunia spiritual akan sangat membantu perjalanan para murid agar mereka dapat menyaksikan kilatan-kilatan cahaya Tuhan. Seperti halnya pengawasan Nabi Muhammad saw. terhadap para sahabat di awal-awal mereka masuk Islam.
Banyak kalangan berpendapat, terutama generasi belakangan, bahwa syaikh bisa menjadi wasilah untuk sampai kepada Allah. Pendapat ini bisa dianggap benar kalau yang dimaksud adalah orang-orang awam yang benar-benar tidak memahami al-Qur`an dan al-Sunnah sehingga mereka tidak mampu mencapai Allah kecuali dengan mengkuti para syaikh. Akan tetapi pendapat tersebut bisa salah kalau yang dimaksud adalah bahwa ikatan spiritualitas seorang murid dengan syaikhnya dapat menghantarkannya untuk sampai kepada Allah SWT. Sebab, ikatan spiritualitas murid dengan syaikhnya justru akan menjadi hijab antara dia dan Allah. Bila ini terjadi, maka murid yang demikian selamanya akan bergantung kepada syaikhnya sehingga dia akan sangat kesulitan untuk mencapai keinginannya dalam mengarungi dunia spiritual. Makanya, alangkah akan lebih baik bila seorang murid, terutama kalau dia sudah mencapai tingkatan ahli ilmu dan makrifat, untuk secara langsung ‘menuju’ Allah dengan sendirinya sebagaimana dilakukan oleh al-Ghazali dan para sufi lainnya.
Seorang salik yang sudah lepas dari ikatan spiritualitas syaikhnya, untuk selanjutnya ia harus mampu mempertahankan kondisi hatinya di bawah pengawasan Allah SWT tanpa sekejap pun berpaling dari-Nya. Ketika ia konsisten dengan itu dan berhasil menafikan sama sekali entitas selain Allah dari hatinya, berarti ia telah mencapai level pertama murâqabatullâh, yaitu ‘ilm al-yaqîn. Kemudian, ketika ia sudah mampu melihat Kemahakuasaan Allah dalam menggerakkan dan mendiamkan segala sesuatu tanpa membutuhkan topangan entitas apapun selain Dzat-Nya, berarti ia telah mencapai level kedua, yaitu ‘ayn al-yaqîn. Selanjutnya, kalau ia berhasil melampaui semua itu dan fanâ` dengan Allah, di mana ia tidak lagi melihat sesuatu apapun kecuali ia melihat Allah padanya, berarti ia telah mencapai level terakhir, yaitu haqîqah al-yaqîn. Pada level ini seorang salik akan menyaksikan keindahan rahasia-rahasia dan cahaya Allah melalui musyâhadah. Ia menjadi sangat dekat dengan Allah karena ikatan cinta yang tanpa batas. Allah akan menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat. Allah akan menjadi lisan yang ia gunakan untuk bicara. Allah akan menjadi tangan yang ia gunakan untuk memegang. Allah akan menjadi kaki yang ia gunakan untuk berjalan.
Kesepuluh: Mengetahui Lahir dan Batin Apa yang Harus Dilakukan dengan Usaha
Ketaatan apapun yang harus dilakukan oleh seorang salik dalam upayanya mendekatkan diri dengan Allah dan meraih cinta-Nya, harus diketahui terlebih dahulu ilmunya. Al-Ghazali selalu mengajarkan untuk mencari tahu mengenai seluk-beluk suatu amal sebelum dikerjakan, baik lahir maupun batinnya, terutama sekali menyangkut masalah ibadah. Contohnya sederhananya adalah shalat. Secara lahir, yang harus dipelajari dari shalat adalah tata-caranya, mulai dari niat sampai tahiyat akhir. Lalu secara batin, yang mesti diketahui dari shalat adalah sebab kenapa Allah mensyariatkan shalat, juga hikmah berikut faedahnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui ini semua, setiap hamba akan termotivasi untuk mengerjakannya semaksimal mungkin. Dan ia akan terus berusaha konsisten guna meraih banyak faedah dan hikmah sebagai bekal hidup di dunia dan di akhirat kelak.