Kedua, mesosistem antara pengalaman di rumah, pengalaman di lingkungan belajar, dan pengalaman di masyarakat harus terhubung dan konsisten. Konsistensi pesan humanis dan damai dapat memudahkan nilai-nilai agama tumbuh dan melekat di hati anak. Kita harus mengambil peran dalam literasi agama yang efektif, khususnya pada anak. Jangan sampai, anak menelan mentah-mentah doktrin keagamaan yang menyesatkan dan radikal. Banyak kita temui, doktrin agama yang berlawanan dengan nuansa Islam rahmatan lil alamin.
Ketiga, pendidikan agama perlu ekosistem yang ‘sehat’ untuk memastikan bahwa agama dapat memantikkan kesalehan individu dan sosial. Meski pandemi sempat membatasi sejumlah aktivitas pendidikan agama, namun meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan dan pengayaan agama pada anak dan anggota keluarga harus tetap menjadi prioritas.
Keempat, makrosistem pendidikan agama harus berfungsi dengan baik. Orang tua dan pendidik harus berusaha untuk mewariskan pikiran-pikiran damai pada anak. Orang tua dan pendidik serta figur otoritas harus mewariskan mindset yang toleran, dan pola pikir yang bijak sesuai dengan kaidah agama. Kelima, pendidikan agama hendaknya dilaksanakan holistik sehingga memunculkan kronosistem yang mendukung perilaku beragama yang menyeluruh, damai, dan harmonis. Bila lima prasyarat konsistensi lingkungan di atas sudah terpenuhi, maka keber-agama-an yang humanis dan harmonis dapat terwujud.
Sayangnya, kaum radikal mendistraksi dengan beragam cara. Mereka mempengaruhi generasi muda untuk menjadi radikal. Bahkan, mereka melakukan rekruitmen secara on line sehingga pergerakan mereka demikian samar. Solusinya kini adalah, penciptaan lima sistem penguatan nilai-nilai toleransi dan wawasan Islam wasathiyah dalam lima sistem ala Bronfenbrenner harus segera diwujudkan. Kelima sistem tersebut dapat memberikan proteksi pada generasi dari ancaman intoleransi, paham radikal dan bahaya latennya. Wallahu’alam.