Pada pelaksanaannya, umat Muslim berdoa mengharap kepada Allah SWT, supaya diberi kekuatan lahir batin melaksanakan puasa Ramadhan.
5. Nyorog, Betawi
Nyorog adalah kegiatan membagikan bingkisan atau makanan khas Betawi ke anggota keluarga atau tetangga dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan dan menyambut Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilakukan orang yang lebih muda ke orang yang usianya lebih tua (Zaelani, 2019).
Tradisi nyorog juga menawarkan beberapa tujuan, diantaranya: pendidikan sosial, pendidikan jasmani, pendidikan rohani, dan pendidikan akal. Semua itu dikarenakan proses silaturahim.
Saat ini, tradisi ini masih berlangsung di masyarakat Muslim Jabodetabek dan sekitarnya. Dengan menggunakan rantang besi (kotak makanan), para pemuda membagikan kepada para sepuh di keluarga sekitar.
6. Pacu Jalur, Riau
Pada mulanya, tradisi Pacu Jalur ini dimaksudkan untuk memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan tahun baru Hijriyah. Saat masa penjajahan, Pacu Jalur dijadikan kegiatan memperingati hari lahir Ratu Wihelmina (Ratu Belanda).
Pada awal abad ke-17, jalur atau perahu merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.
Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya, jalur benar-benar digunakan sebagai alat transportasi substansial untuk warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut orang dengan kapasitas 40 (Hasbullah, dkk., 2015)
Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun. Perlombaan Pacu Jalur ini merupakan penghibur tersendiri bagi masyarakat sebelum memasuki bulan Ramadhan.
7. Ziarah Kubro, Palembang
Palembang sebagai kota yang memiliki peradaban tua, mempunyai ciri khas yakni kearifan lokal yang bernilai religius. Salah satunya adalah tradisi Ziarah Kubro yang sudah dikenal pada abad ke-16 M.
Tradisi Ziarah Kubro ini dimaknai sebagai usaha introspeksi diri dan menghidupkan memori para peziarah atas besarnya peran ulama dan para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam dalam menyebarkan Islam hingga pada masanya, Palembang dapat menyaingi atau bahkan menyalip Aceh sebagai pusat pembelajaran agama Islam (Amri & Maharani, 2018). Palembang pada masa itu mengalami perekonomian yang sangat maju dengan berbekal ekspor lada dan timah sebagai komoditas utama dalam mendorong laju perekonomian (Kersten, 2017: 47)
Selain tujuh tradisi diatas, masih ada banyak lagi tradisi lokal yang belum penulis sebutkan.
Baca Juga: Wayang: Sempat Dilarang, Akhirnya Disayang
Referensi:
Aibak, Kutbuddin. “Fenomena Tradisi Megengan di Tulungagung”. Jurnal Millah, Vol. X, No. 10, Agustus. 2010.
Amri, Prima, & Maharani, Septiana Dwiputri. “Tradisi Ziarah Kubro Masyarakat Kota Palembang dalam Perspektif Hierarki Nilai Max Scheler”. Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2, Agustus. 2018.
Hasbullah, dkk,. Olahraga dan Magis: kajian terhadap Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi. Pekanbaru: Asa Riau. 2015.
Iskandar. Perayaan Mameugang dalam Perspektif Hukum Islam. Laporan Penelitian Dosen. Lhokseumawe-Aceh: STAIN Malikusssaleh. 2010.
Kersten, Carool. A History of Islam in Indonesia. Edinburgh University Press, Edinburgh. 2017.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2007
Refisrul, “Lamang and Malamang Tradition in Minangkabau Society”. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 3, No. 2, November 2017.
Santoso, Imam Budhi. Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, Dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu Publising. 2012.