Keluarga merupakan aset terpenting bagi umat Muslim. Pada suatu pagi, ada chat yang masuk di WA yang buat saya tersenyum : “Kiai, kapan-kapan ane request dong, materi tentang ‘birr al-abna’ untuk perimbangan aja, karena sering banget bahasan tentang ‘birr al-walidayn’.
Untuk memenuhi request tersebut, tulisan kali ini kita coba mengupas masalah yang diminta sahabat kita tersebut. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan perimbangan. Supaya tidak terlalu panjang, mungkin bahasan ini tidak hanya kali ini saja, tapi akan berlanjut hingga dirasa cukup pembahasannya. Bila di rasa masih kurang ya nanti kita lanjutkan lagi.
‘Birr al-abna’ memang istilah yang kurang lazim, tidak seperti istilah birr al-walidayn. Biasanya istilah sandingan untuk ‘birr al-walidayn’ itu ‘huquq al abna ‘ala al-walidayn‘ (hak-hak anak yang didapatkan dari orang tuanya). Saat saya konfirmasi ke sahabat yang me-request: “Kang, istilah birr al-abna‘ ini kan kurang lazim ya! apa yang dimaksud birr al-abna‘ ini adalah kewajiban orang tua terhadap anaknya?”. Beliau menjawab: “iya kiai maksudnya itu!. Istilah birr al-abna itu memang bukan istilah yang ada di kitab-kitab, tapi lebi pada style “slank” saja supaya ada korelasinya dengan birr al-walidayn.”
Istilah ini membuat saya penasaran untuk men-searching di google, dan bertanya kepada beberapa sahabat yang akrab dengan Bahasa Arab dan keilmuan Islam. Kesimpulan yang saya dapatkan, makna birr al-abna lebih kepada huquq al-abna’ ‘ala al walidayn. Bila kita ingin menggunakan istilah birr al-abna sebagai sandingan birr al-walidayn, saya dengan keterbatasan referensi yang saya miliki, belum menemukan istilah ini dipakai dalam makna sebagai sandingan kata birr al-walidain. Jadi istilah yang akan kita pakai ada istilah yang lazim saja yaitu biir al-walidayn bila dari anak ke orang tua. Dan bila dari orang tua ke anak maka memakai istilah huquq al-abna ‘ala al-walidayn (al-aba).
Terlepas dari istilah birr al-abna di atas, yang jelas renungan subuh ini akan mengupas dari sisi hak-hak anak yang didapatkan dari orang tua, bukan sebaliknya yaitu kewajiban anak pada orang tua, karena subtansi request sahabat di atas adalah bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan buah hati sehingga anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan menemaninya di surga, sebagaimana firman Allah SWT:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ
“Surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang shalih dari bapak- bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.” (Q.S Ar-Ra’du: 23).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ( Tafsir Ibn Katsir Maktabah Dar- As-Salam, jilid 2 hal. 1494) menjelaskan maksud ayat tersebut; “Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam Surga yaitu orang tua, istri dan anak keturunan mereka yang mukmin dan layak masuk Surga agar hari mereka senang. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi sebagai anugerah dari-Nya dan kebaikan-Nya, tanpa mengurangi derajat ketinggian seseorang dari kedudukannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ