Sehingga tidak heran jika Hadrami (Habib, Sayyid, dll.) di Indonesia juga dijadikan sebagai sumber fatwa yang otoritatif di bidang agama, dan sekaligus sebagai sumber petunjuk untuk kehidupan sosial kemasyarakatan.
(Burhanuddin, 1999).
Peranan Habib atau keturunan Nabi Muhammad Saw di Nusantara ini di satu sisi membawa semangat masyarakat atas keyakinan bahwa hadirnya mereka merupakan suatu keberkahan. Namun lagi-lagi, di balik itu juga terdapat dampak lain sehingga terjadi perdebatan sengit antara sesama masyarakat Nusantara, demi merebutkan otoritas kewibawaan terhadap para Sayyid. Ini menarik untuk dikaji, tentang asal-usul otoritas para Habib di Nusantara itu? Karena semula kedatangan mereka merupakan migrasi untuk mencari keuntungan ekonomi.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita diskusikan sejarah hadirnya Habib di Nusantara. Van den Berg mengidentifikasi bahwa baru mulai abad 19 para Hadrami (untuk menyebut para keturunan Nabi atau bukan yang datang dari Yaman) mulai ramai migrasi ke Indonesia, meskipun tidak dipungkiri, bahkan sebelum proses Islamisasi berlangsung sudah ada sebagian yang terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi di Nusantara (Berg, 1989). Bahkan secara strata, van Der Kroef dan De Jonge mendata jika mayoritas yang datang ke Indonesia memang dari kelompok Hadrami masākin/miskin (van Der Kroef, 1953, De Jonge, 1993).
Keturunan Nabi Muhammad Saw memiliki gelar yang berbeda-beda. Di Mesir mereka disebut dengan Syarif. Di luar negara Hijaz, mereka dipanggil Sayyid. Sementara di Indonesia diberi gelar Habib (jamaknya habaib). Rasulullah SAW tidak meninggalkan putra lelaki, sehingga garis keturunan Nabi Muhammad melalui jalur anak perempuan, yaitu Fatimah al-Zahra yang mempunyai dua orang putra dari perkawinan dengan Ali bin Abi Talib, Hasan dan Husein (Hamka, 1974).
Di abad itu juga, masyarakat Betawi memposisikan para semua Hadrami sebagai orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi. Bahkan gelar “Habib” atau “Habaib” yang disematkan kepada mereka menunjukkan sebagai orang-orang suci keturunan Nabi. Karena, sebagaimana dituliskan oleh Kroef, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia yang tidak terdidik menganggap semua orang Arab memiliki aura suci karena kemungkinan keturunan Nabi (van Der Kroef, 1953).
Sehingga tidak heran jika Hadrami di Indonesia juga dijadikan sebagai sumber fatwa yang otoritatif di bidang agama, dan sekaligus sebagai sumber petunjuk untuk kehidupan sosial kemasyarakatan (Burhanuddin, 1999). Mereka juga berperan sebagai pemimpin upacara keagamaan bahkan mediator konflik (Riddell, 2001). Bukti ini bisa dikatakan sebagai peran ganda, karena hadirnya Habib semula sebagai pedagang kemudian menjadi pendakwah yang memiliki peranan otoritas keagamaan.