Siapa yang tidak kenal dengan Gus Baha?. Seorang Kyai muda yang sangat disegani dan ditunggu-tunggu pengajiannya. Bahkan mampu menarik kalangan Muslim perkotaan atau urban akhir-akhir ini.
Gus Baha atau bernama lengkap Ahmad Bahauddin Nursalim lahir di Rembang, 15 Maret 1970. Putra dari pasangan KH. Nursalim al-Hafidz dan Nyai Hj. Yuchanidz ini menjadi rujukan publik saat ini. Selain tinggi keilmuannya, gaya hidupnya pun sangat sederhana (tidak glamor). Dan hal ini menjadi estetika tersendiri.
Gus Baha saat ini merupakan pengasuh Pesantren Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Alquran (LP3IA) yang berlokasi di desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Saat usia masih belia, Gus Baha telah mengkhatamkan Alquran plus qira’ah yang masyhur. Hal ini dikarenakan lingkungan Gus Bahaa yang relijius dimana ayahnya seorang ulama min ahl al-qur’ān.
Beberapa tahun terakhir, media sosial memang tidak seramai dekade-dekade yang lalu. Berbagai platform media dimanfaatkan oleh masyarakat untuk turut andil dalam ruang publik. Tak terkecuali Gus Baha yang tidak hanya satu platform, misal youtube saja, namun di platform seperti Spotify, Facebook, Instagram dan lain-lain. Media sosial merupakan kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih tinggi eksistensinya.
Jika dilihat dari berbagai platform media sosial, masyarakat perkotaan lebih banyak mengkonsumsi banyak konten. Realita yang ada yakni masyarakat atau Muslim di kota maupun pinggiran lebih cocok dengan ceramah pengajian atau tausiyah yang ilmiah, tidak bernuansa provokatif dan tendensius. Gus Baha hadir dengan pengajian yang bisa masuk dalam masyarakat kategori penalaran “logis”.
Seperti dalam menerangkan konsep i’jaz Alquran. Dalam jurnal yang berjudul “Rekonstruksi Pemahaman Konsep I’jaz Al-Qur’an Perspektif Gus Baha'”, Istianah dan Zaenatul mengungkapkan bahwa Gus Baha dapat menjelaskan yang selama ini secara mainstream memahami Alquran sebagai mukjizat inderawi. Tetapi tidak dengan penalaran dan mata hati (bashīrah).