Islamina.id – Di akhir masa ‘Orde Baru’ ini, Islam dilanda ‘krisis’. Dikatakan krisis, karena saat itulah kemunduran Islam semakin tampak. Tetapi ternyata para pemikir muda Islam tidak begitu berani kalau harus berhadapan dengan status quo. Mereka hanya memanfaatkan waktu luang untuk introspeksi diri, mengembangkan potensi diri dengan mendirikan kelompok-kelompok kecil.
Pada akhirnya, di kala krisis sudah sedemikian parah, lahirlah seorang tokoh Muslim terkenal (dari Spanyol) bernama Ibn Rusyd. Dialah orangnya yang telah mempelopori perjuangan dalam membongkar hegemoni ulama klasik.
Dengan kecerdasannya, Ibn Rusyd berani ‘melawan’ tokoh sekaliber Imam al-Ghazali yang sudah dianggap sebagai Hujjatul Islam serta dijadikan inspirasi, kiblat dan referensi pemikiran oleh mayoritas umat Muslim hingga dewasa ini. Dengan perjuangannya yang gigih, Ibn Rusyd telah berhasil membuka kembali ‘kran’ ijtihad (inovasi) yang sudah ‘ditutup’.
Bahkan ia juga dikenal dalam sejarah sebagai seorang filsuf Arab terbesar yang mampu membangun Eropa dan menghantarkan dunia Barat ke ‘pintu gerbang’ Renaissance, karena kemahirannya dalam memberikan komentar dan penjelasan tentang filsafat Aristoteles. Ia juga berusaha menghidupkan kembali filsafat-filsafat para pendahulunya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah dan Ibn Taufail yang telah ‘dibabat habis’ oleh Imam al-Ghazali.
Baca juga: Islam: Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi (1)
Meskipun Ibn Rusyd cukup dikenal, namun ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan Islam sendiri. Sebab masyarakat Islam ketika itu masih ‘mabuk’ dengan pengaruh orang-orang ‘Orde Baru’ yang sudah mengkristal. Lihat saja bagaimana pengaruh Imam madzhab yang empat (aimmah al-madzahib al-arba’ah). Belum lagi Imam al-Ghazali yang hidup di penghujung masa ‘Orde Baru’ Islam. Karya monomentalnya, Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) dianggap sebagai rujukan ketiga setelah al-Qur’an dan hadits.
Bahkan tentang karyanya ini dikatakan bahwa “jika semua buku Islam dihancurkan, itu tidaklah begitu rugi, kalau kitab Ihya-nya Imam al-Ghazali dapat diselamatkan”. Tidak hanya itu, Imam al-Ghazali juga dianggap sebagai ‘Muslim terbesar setelah Nabi Muhammad’ yang sampai saat ini belum ada replikanya.
Prestasi besar Ibn Rusyd hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang ‘Orde Baru’. Ia hanya banyak dikenal di Eropa. Sepanjang abad ke-12 karya-karya banyak filsuf, yang figur sentralnya adalah Ibn Rusyd, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa latin. Ini menimbulkan gelombang produktivitas intelektual di Eropa Barat, sehingga mempengaruhi sains, filsafat, dan juga teologi.