Awit miturut paugeraning agami kita Islam, sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kamajengan….” (Soewara Muhammadiyah No.2, Thn I (1915), hlm.29)
“Karena sesuai dengan tuntunan agama kita Islam serta selaras dengan arah kemajuan zaman…”
Islamina.id – Kiranya kutipan singkat dari Majalah legendaris Soewara Muhammadiyah di atas jelas menunjukkan bahwa “cita-cita bergerak maju” menjadi bagian penting dari organisasi Islam yang diinisiasi oleh K.H. Ahmad Dahlan (m.1923).
Adanya cita-cita kemajuan seiring pergerakan masyarakat Indonesia menghadapi para penjajah dengan segala prolematikanya, menjadikan Muhammadiyah memasuki ruang di mana perlu “mengartikulasikan” Islam sesuai semangat zaman.
Cita-cita ini mempengaruhi cara pandang terhadap Islam yang tidak lagi stagnan dan kaku melainkan terus bergerak maju. Gagasan ini sungguh amat menarik, lebih-lebih dikuatkan dengan bukti-bukti pendirian bangunan-bangunan sekolah, rumah sakit, koperasi dan layanan publik lainnya yang dapat diakses oleh semua orang yang membutuhkan.
Islam yang selaras dengan arah kemajuan zaman pada saat itu ialah yang termanifestasikan ke dalam wujud agama yang aktif dan tidak sekedar kontemplatif.
Ijtihad, Pembaruan dan Rasionalisme
Cita-cita kemajuan inilah yang mendorong Muhammadiyah melakukan ijtihad dan memaksimalkan interpretasi akal dengan tetap berlandaskan kedua sumber hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadis.
Baca juga: Tahukah Kamu Istilah Mursyid?Ini Penjelasannya
Dengan semangat ini bagi Muhammadiyah sebagaimana organisasi reformis lainnya, pintu ijtihad selalu terbuka. Seruan berijtihad dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis dalam konteks saat itu menjadi semacam hermeneutika penalaran dan pemikiran ulang yang kritis terhadap ajaran Islam berikut potret umat Islam penganutnya.
Ada beberapa kondisi yang melingkupi berdirinya Muhammadiyah, yang disebut-sebut Kuntowijoyo dalam “Pengantar” buku Membendung Arus, meliputi tradisionalisme Islam, Jawaisme, dan modernisme kolonial.