Islamina.id – Tidak ada lagi ruang untuk diam atas berbagai kejahatan yang terjadi saat ini. Banjir darah di Suriah dan Irak sekarang mengancam Indonesia pasca tragedi pengemboman di Gereja Katedral Makassar dan penembakan di Mabes Polri beberapa waktu yang lalu.
Semua kejahatan ini berasal dari satu sumber: gerakan Wahabiyah dan cabang-cabangnya seperti Al-Qaeda, ISIS, dan kelompok-kelompok lainnya, termasuk JAD di Indonesia. Telah tiba waktunya, dalam skala regional dan internasional, untuk menggalakkan kampanye kriminalisasi pemikiran dan gerakan tersebut.
Perlu diketahui, gerakan Wahabiyah secara ideologis berafiliasi kepada sebuah kelompok bermazhab Hanbaliyah yang dikenal dengan Mujassimah, yang dasar akidah agamanya dirintis oleh Ibn Taimiyah. Sebuah gerakan yang, dari awalnya, didasarkan pada ajaran “pembunuhan” untuk melenyapkan kelompok-kelompok lain.
Muhammad ibn Abdil Wahab, pendiri gerakan Wahabiyah, mencoba menyebarkan doktrin pembaharuannya berdasar sudut pandang keagamaannya sendiri di antara suku-suku Badui yang bertahan hidup dengan perang—perang menjadi karakter para penghuni lembah-lembah Arab. Namun penolakan mereka terhadapnya karena kehadiran para bangsawan di Hijaz di satu sisi dan tidak adanya dorongan religius di dalam diri mereka di sisi lain, telah menghalangi terselesaikannya misi keagamaan yang ia ciptakan dan kerjakan.
Baca juga: Kenapa Perempuan Jadi Teroris?
Ketika perang suku terjadi antara sejumlah klan di Jazirah Arab, yang berakhir dengan menguatnya kekuasaan keluarga Saud, persekutuan antara pengikut Muhammad ibn Abdil Wahab dan keluarga Saud menjadi kebutuhan utama dalam memenuhi ambisi keluarga Saud untuk membungkus kekuasaannya dengan kemasan agama sekaligus memenuhi hasrat Muhammad ibn Abdil Wahab akan pedang untuk memperkuat doktrin keagamaannya. Meskipun, sebenarnya, Muhammad ibn Abdil Wahab sama sekali tidak tertarik pada kekuasaan politik dibandingkan dengan kekuasaan spiritual dan ideologis.
Persekutuan antara keluarga Saud dan Wahabiyah menghasilkan kesepakatan yang menjadikan pihak pertama, Muhammad ibn Saud, sebagai “Amirul Mukminin” (pemimpin orang-orang beriman), dan keturunannya sebagai penerusnya dalam kekuasaan.
Sedangkan pihak kedua, Muhammad ibn Abd al-Wahab, sebagai pemimpin dakwah, dan keturunannya menerima otoritas agama, yang tugas utamanya adalah “mengkafirkan” setiap orang yang tidak sejalan dengan pengikut gerakan Wahabiyah dan membunuh semua orang yang menolak paham Wahabiyah. Kesepakatan ini berlanjut hingga sekarang, karena Mufti Arab Saudi, Abdullah Alu Syaikh, adalah keturunan dari “Syaikh” Muhammad ibn Abdil Wahab.
Klaim Gerakan Wahabiyah
Sejak awal, gerakan Wahabiyah telah secara terbuka mengklaim diri sebagai agama yang benar, doktrin sunnah yang benar dan metode tauhid yang benar. Siapa pun dari umat Muslim yang tidak menyetujui hal itu dipandang sebagai orang-orang yang sesat dan layak menjadi penghuni neraka, kecuali mereka bertaubat dan kembali ke agama yang benar, yaitu agama yang kaidah-kaidahnya ditetapkan oleh Ibn Taimiyah dan dasar-dasar pendekatan modernnya oleh Muhammad ibn Abdil Wahab.
Gerakan ini, yang dibentuk dari gerombolan preman, pencoleng, dan pencuri, mulai melancarkan aksi-aksi berdarahnya, setelah Muhammad ibn Abdil Wahab sendiri menyerukan jihad, terhadap suku Badui dengan merampok harta, memperkosa perempuan, serta melakukan pembunuhan. Di sinilah fatwa pengkafiran (takfîr) dan pembunuhan (qatl) mulai bermunculan yang memberi pembenaran kepada mereka untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.
Kita lihat, yang pertama dibunuh adalah para imam masjid, seperti yang tertulis di dalam kumpulan surat-surat Muhammad ibn Abdil Wahab. Ia, misalnya, berkata, “Utsman ibn Muammar, hakim negeri Uyainah, adalah seorang musyrik kafir. Maka ketika umat Muslim (orang-orang Wahabiyah, red.) mengetahui hal ini, mereka berjanji untuk membunuhnya setelah ia menunaikan shalat Jum’at, dan kami pun membunuhnya saat ia berada di tempat shalatnya di dalam masjid pada bulan Rajab 1163 Hijriyah.”