Islamina.id – Kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” merupakan biografi al-Ghazali dalam menemukan hakikat kebenaran, sedangkan kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” merupakan pemaparan mengenai hakikat kebenaran itu sendiri. Maka kitab “al-Qawâ’id al-‘Asyrah”, selain juga kitab “Kîmiyâ` al-Sa’âdah” dan “al-Adab fî al-Dîn”, sejatinya merupakan kelanjutan dari kedua kitab tadi, yang secara khusus membahas tentang kaidah-kaidah dan kiat-kiat mendekati Allah SWT guna merengkuh cinta-Nya, khususnya—tentu saja—di dunia tarekat.
Pada awalnya, seperti kebanyakan kitab keagamaan lainnya, al-Ghazali membuka kitab ini dengan pujian kepada Allah Tuhan semesta alam atas segala karunia dan hidayah-Nya kepada para pecinta-Nya, yang mana hati mereka digerakkan oleh-Nya untuk mengikuti tuntunan al-Qur`an dan al-Sunnah. Kemudian al-Ghazali menyebutkan salah satu pilar tasawuf, yaitu qiyâm al-layl, yang menjadi ciri khas para pecinta-Nya. Mereka, seperti juga disinyalir di dalam al-Qur`an, menjauhkan lambung mereka dari tempat tidur di malam hari untuk beribadah dan memanjatkan doa kepada Allah SWT dengan perasaan takut dan harap, selain juga banyak berbuat amal saleh.
Selanjutnya, al-Ghazali memberikan isyarat bahwa para murid dapat mendorong jiwa mereka untuk menanjaki tangga-tangga cinta jika mereka mampu membiasakan diri dengan dzikir-dzikir seperti yang diamalkan para sufi yang sudah mencapai puncak kematangan jiwa-ruh karena kedekatan mereka dengan Allah SWT. Kematangan jiwa-ruh mereka telah menghantarkan mereka memasuki istana tauhid, di mana mereka melepaskan dahaga kerinduan dengan minuman cahaya yang memasuki tenggorokan, jasad dan ruh mereka. Saat itulah mereka berdialog secara rahasia dengan Sang Kekasih Abadi yang menjamu mereka dengan hidangan cahaya-Nya.
Maka, bagi mereka yang mempunyai gairah untuk menjalani dunia tarekat supaya merasakan nikmatnya berdekatan dan mencintai-dicintai Allah SWT, di bawah ini terdapat beberapa kaidah—bisa juga diistilahkan dengan ‘kiat’—yang harus perhatikan, yaitu:
Pertama: Niat yang Tulus (al-Nîyyah al-Shâdiqah)
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya [perbuatan] setiap orang tergantung niatnya.” Niat mempunyai makna tekad atau keinginan kuat di dalam hati, sedangkan ‘tulus’ mempunyai makna dikerjakan atau ditinggalkan hanya karena Allah. Sebagai seorang sufi, al-Ghazali meletakkan niat di peringkat pertama. Karena, sesuai kandungan hadits tadi, apapun pekerjaan seorang tergantung niatnya. Sehingga tak berlebihan bila ia menjadi pilar pertama di dalam tarekat, yaitu arah atau tujuan yang baik untuk mencapai apa yang diinginkan dan keteguhan untuk aktif di tarekat tanpa memperdulikan aral-aral yang datang menghalang-halangi jalan menuju kebenaran.
Untuk menguatkan pilar tersebut, para salik dianjurkan membaca kisah-kisah para pecinta Tuhan (al-muhibbûn) di dalam kitab-kitab tasawuf lama, seperti “al-Risâlah” karya al-Qusyairi, “al-Hulyah” karya Abu Na’im, “Thabaqât al-Awliyâ`”, dll. Dengan membaca kitab-kitab itu para salik diharapkan dapat menumbuhkan keinginan kuat di dalam diri mereka untuk menempuh jalan tarekat. Sebab tanpa keinginan kuat untuk meraih kedudukan-kedudukan tinggi sebagaimana yang berhasil diraih oleh para generasi terdahulu, sangat tidak mungkin dalam diri seorang salik tertanam niat yang tulus.
Kedua: Melakukan Amal Ibadah Hanya Karena Allah
Menyangkut kaidah ini, al-Ghazali menyitir sebuah hadits yang berbunyi, “Sembahlah Allah seolah kamu melihat-Nya. Dan bila kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Tanda bahwa seseorang melakukan amal ibadah hanya karena Allah adalah ia tidak mengikatkan hatinya dengan selain-Nya dan tidak menghendaki apapun selain keridhaan-Nya. Dia, selain menggantungkan harapan-harapannya hanya kepada Allah SWT, juga meninggalkan hal-hal syubhât.
Tentu saja, melakukan amal ibadah hanya karena Allah tidaklah mudah. Makanya setiap salik dituntut untuk menanamkan dan memupuk keikhlasan di dalam hatinya. Dan keikhlasan bukanlah sesuatu yang muktasab, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi merupakan salah satu dari rahasia Allah SWT yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Ketiga: Hidup Selaras dengan Kebenaran dan Mengesampingkan Hawa Nafsu
Maksud dari kaidah ini adalah, berupaya menundukkan dan mengikutkan hawa nafsu kepada ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh syariat. Menurut al-Ghazali, kebenaran harus senantiasa diikuti dengan kesungguhan, dan hawa nafsu harus dihadapi dengan kesabaran. Dengan kata lain, sabar untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang merupakan tuntutan hawa nafsu. Sebab, perbuatan apapun yang didasarkan pada hawa nafsu hanya akan menjerumuskan manusia kepada hal-hal yang merusak dan mencelakai dirinya sendiri. Allah berfirman, “Janganlah kamu menjerumuskan diri kalian kepada kehancuran.”
Dan sebenarnya, apa yang disebutkan oleh al-Ghazali di atas hanyalah efek, keadaan, sekaligus konsekuensi perbuatan tanpa menguraikan secara jelas dasar-dasar tarekat yaitu: tawbah, khawf, rajâ`, huzn, qanâ’ah, zuhd, wara’, tawakkul, shabr, syukr, jihâd al-nafs, ridhâ bi al-qadhâ`, tark al-‘ibâd (dalam artian tidak memalingkan hati kepada keadaan para hamba).
Keempat: Melakukan Amal Ibadah Sesuai Syariat Tanpa Membuat-buat Berdasarkan Hawa Nafsunya
Di sini al-Ghazali menekankan agar seorang salik tidak menjadikan syariat sebagai permainan akal pikirannya. Ajaran apapun dari syariat harus dipatuhi dan tidak dibantah, sekalipun itu disampaikan oleh seorang budak yang hina. Nabi saw. bersabda, “Hendaknya kalian mendengarkan dan mentaati [ajaran-ajaran syariat], meskipun seorang budak bangsa Habsyi yang menyampaikannya.”
Al-Ghazali, dengan kaidah ini, berupaya menjauhkan para salik dari keterjemusan ke dalam jurang bid’ah yang dilarang oleh agama. Maksud bid’ah di sini adalah membuat sesuatu yang baru di dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Sebuah hadits menyebutkan, “Setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan [tempatnya] adalah di dalam neraka.”
Namun hadits tersebut jangan serta-merta dipahami bahwa setiap hal baru yang dilakukan oleh sekelompok orang adalah bid’ah yang menyesatkan. Menurut Syaikh Mukhtar, seorang tokoh sufi di Mesir, definisi bid’ah yang benar adalah “Taqyîd mâ athlaqahullâh wa rasûluh-u, wa ithlâq mâ qayyadahullâh wa rasûluh-u” (me-muqayyad-kan apa yang di-muthlaq-kan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan me-muthlaq-kan apa yang di-muqayyad-kan oleh Allah dan rasul-Nya). Contoh sederhananya adalah shalat Ashar. Shalat Ashar muqayyad dari segi rakaat dan waktunya. Kalau kita tambah atau mengurangi rakaatnya dan mengerjakannya kapan saja semau kita, ini baru bid’ah yang harus dijauhi. Berbeda dengan dua kalimat syahadat sebagai pondasi awal agama yang bersifat muthlaq. Artinya tidak terikat oleh zaman dan tempat. Kapan saja kita mau, kita boleh melafalkannya. Demikian juga dzikir (menyebut nama Tuhan), di mana saja kita boleh berdzikir, dengan model atau bentuk apapun. Bisa dengan tarian—seperti dilakukan oleh para pengikut Jalaluddin Rumi—, memakai musik, berdiri, tidur-tiduran, di bioskop, di cafe, di masjid, di rumah, di kuburan, atau dalam bentuk tahlilan—seperti tradisi masyarakat NU—dll. Pendek kata, di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun dzikir boleh dilakukan. Sebab, Allah SWT hanya menyuruh para hamba-Nya untuk banyak-banyak menyebut-Nya.
Dan perlu digaris bawahi, bahwa bid’ah ada dua, yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi`ah). Bid’ah yang baik contohnya seperti anggur yang dibuat khamr. Perubahan anggur menjadi khamr disebut bid’ah. Menurut syariat, khamr kalau diminum hukumnya haram, karenanya disebut bid’ah yang buruk. Dari dulu hingga saat ini banyak orang suka meminumnya, sehingga ini bisa disebut sunnah yang buruk (sunnah sayyi`ah). Demikian halnya dengan anggur yang dijadikan kismis. Seperti yang pertama, perubahan anggur menjadi kismis juga disebut bid’ah. Menurut banyak orang, kismis enak dijadikan camilan. Sedangkan menurut syariat kismis tidak apa-apa kalau dimakan, karenanya ia disebut bid’ah yang baik. Dari dulu sampai sekarang banyak orang yang mengkonsumsinya, maka ini bisa disebut sunnah yang baik (sunnah hasanah).
Kelima: Memiliki Keinginan Kuat (al-Himmah al-‘Ulyâ) yang Jauh Dari Hal-hal Merusak
Di sini, yang dimaksud al-Ghazali adalah bahwa tidak dibenarkan bila seorang hamba menunda-nunda suatu perbuatan sampai hari esok. Contoh yang bisa disebutkan di sini—sebagaimana juga disebutkan al-Ghazali sendiri di dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn—adalah taubat. Seorang hamba kalau merasa banyak melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya dia segera bertaubat, tidak boleh menunggu hari tua. Sebab ajal manusia tidak diketahui kapan datangnya. Sehingga dengan demikian, setiap hamba harus menyegerakan taubat selagi Allah masih memberikan kesempatan baginya. Kesempatan, seperti jamak kita tahu, tidak datang dua kali. Nabi saw. bersabda, “Lakukan sesuatu untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya. Dan lakukanlah sesuatu untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok.”
Keenam: Merasa Lemah (al-‘Ajz) dan Hina (al-Dzillah)
Di sini al-Ghazali tidak memaksudkan bahwa para salik boleh malas dan mengabaikan usaha. Justru sebaliknya, dia menghendaki para salik menumbuhkan kesadaran di dalam diri mereka bahwa apapun yang mereka lakukan semuanya adalah atas kekuasaan Allah SWT. Para salik harus berusaha semaksimal mungkin melakukan segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT dengan tetap menyadari bahwa tanpa kekuasaan dan kehendak-Nya mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa. Mereka harus merasa lemah dan hina di hadapan-Nya. Dengan begitu mereka tidak akan menjadi sombong dan memandang makhluk-makhluk Tuhan yang lain dengan pandangan menghargai sekaligus menghormati.
Para salik harus mengetahui Kemahakuasaan Allah supaya mereka tidak mudah melakukan hal-hal yang melampaui batas. Allah senantiasa menyayangi seorang hamba yang mengetahui kekuasaan-Nya, tidak melampaui batas dan tidak keluar dari jalan yang dikehendaki-Nya.