IJTIHAD DALAM ISLAM – Di dalam buku mungilnya, “Hak-hak Reproduksi Perempuan”, KH. Masdar F. Mas’udi menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana: bolehkah seseorang mendiskusikan agama, dalam hal ini Islam? Pertanyaan ini timbul karena secara umum umat Muslim berkeyakinan bahwa Islam sebagai sebuah agama ajarannya telah sempurna, tidak ada satu pun kekurangan di dalamnya; semua persoalan, besar maupun kecil, yang jelas maupun yang samar, sudah ditemukan jawabannya.
Ya, Islam telah lengkap! Dalam al-Qur`an ditegaskan, “Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu,” [QS. al-Mâ`idah: 3]. Dalam ayat lain al-Qur`an menyebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” [QS. al-Nahl: 89].
Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi umat Muslim selain melaksanakan apa yang sudah dititahkan dan ditetapkan oleh agamanya. Tidak perlu lagi dilakukan diskusi, sebab ia, sebagai sebuah proses pencarian, hanya cocok untuk permasalahan yang masih belum final. Sementara, seperti ditersurat dalam dua ayat di atas, segala hal yang berhubungan dengan agama sudah disempurnakan.
Namun, jika memang segala sesuatu dalam agama sudah sempurna dan final, lantas kenapa para ulama setelah zaman Nabi Saw. dan para sahabat melakukan ijtihad? Apakah dengan begitu mereka dapat dianggap tidak lagi mempercayai kesempurnaan ajaran Islam?
Realitas sejarah memperlihatkan bahwa pada masa awal-awal Islam sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi Saw. sebagai penerima wahyu secara langsung dari Tuhan. Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang terkait dengan agama, umat Muslim langsung menanya`kannya kepada beliau. Kala itu, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab umat Muslim masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.
Namun, setelah Nabi Saw. wafat, yaitu ketika mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit maka dibutuhkanlah ijtihad dalam islam.
Hal itu menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret dalam mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi umat Muslim dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis.
Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi Saw.
Dengan dasar itulah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kulliyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`iyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad dalam islam. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.
Ijtihad Ciri Khas Ajaran Islam
Ijtihad merupakan ciri khas peradaban Islam yang muncul dalam konteks zaman dan sejarah yang begitu kompleks. Secara sederhana “ijtihad” bisa diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang dimaksud. Dalam istilah fikih kata ini berarti berusaha dengan tujuan melakukan suatu penalaran rasional yang bebas perihal suatu persoalan hukum. Ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi, “Dan kepada mereka yang berusaha Kami tunjukkan jalan Kami.” Juga ayat lain yang senada, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau merubahnya sendiri.”
Hal itu dipertegas dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang pengangkatan Mu’adz sebagai gubernur Yaman oleh Nabi. Diceritakan bahwa Nabi bertanya kepada Mu’adz bagaimana mestinya ia mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapinya. “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan al-Qur`an,” kata Mu’adz. “Tapi jika dalam al-Qur`an tidak ada petunjuk bagimu?” “Saya akan jalan dengan berpijak pada al-Sunnah.” “Tapi kalau dalam al-Sunnah juga tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut penalaran saya sendiri.”
Dua ayat sebelumnya, secara tidak langsung, menyuruh kita untuk senantiasa berusaha tanpa henti. Sebab, Tuhan tidak akan mengulurkan “tangan-Nya” membantu kita kecuali kalau kita berusaha. Sementara hadits setelahnya menjelaskan tentang pedoman yang harus dijadikan pijakan dasar dalam mengarungi kehidupan.
Korelasi antara kedua ayat dengan hadits tersebut menjadi sangat jelas, bahwa manusia harus berusaha untuk terus berubah, bergerak ke arah yang lebih baik. Dan dalam menjalani hidupnya, manusia memerlukan pedoman yang bisa dijadikan pijakan. Pedoman tersebut bisa berupa teks-teks agama, seperti al-Qur`an dan hadits. Tetapi ini saja tidak cukup, masih diperlukan pedoman lain yang tidak kalah pentingnya dari sekedar teks-teks agama, yaitu akal (nalar).
Nabi Saw. tidak akan bertanya lebih lanjut perihal apa yang harus dilakukan jika ternyata al-Qur`an dan hadits sudah mencukupi dalam proses perumusan hukum. Justru pertanyaan terakhir yang beliau ajukan itu menunjukkan bahwa al-Qur`an dan hadits masih memiliki ‘keterbatasan’. Pada titik inilah akal mempunyai peran yang sangat signifikan. Untuk mengaktivasi akal, ijtihad yang oleh banyak ulama dianggap sebagai “prinsip gerakan” (mabda` al-harakah) dan metode berpikir (manhaj li al-tafkîr) dalam Islam harus diberlakukan, tidak boleh tidak.
Ijtihad Kontemporer
Sebenarnya apa yang dimaksud “ijtihad” menurut perspektif para ulama kontemporer? Sepanjang pembacaan saya terhadap buku-buku yang ditulis oleh para ulama atau pemikir kontemporer Islam, “ijtihad” saat ini pada dasarnya tidak jauh beda dengan ijtihad-ijtihad rumusan ulama klasik. Sumber-sumber hukum yang dipakai pun hampir sama; al-Qur`an (Kitab) masih diposisikan sebagai sumber primer dan sunnah atau hadits Nabi sebagai sumber sekunder. Meskipun memang terdapat banyak pengembangan sebagai upaya harmonisasi ajaran Islam dengan setiap tuntutan zaman.