Gelombang kedua kasus COVID-19 dirasakan masyarakat Indonesia dan belum menemui titik henti. Banyak dari orang-orang terkena dampak dari virus COVID-19 ini. Ada banyak yang melakukan isolasi mandiri, menjalani perawatan, dan telah wafat. Dampak lainnya adalah kegaduhan yang mengakibatkan seseorang bahkan komunitas terlihat atau keluar sifat aslinya. Diberlakukannya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat juga bisa menjadi mudharat jika tak direspon dengan baik bagi komunitas Muslim.
Lonjakan paling banyak per hari kamis (8/7), hampir menyentuh empat puluh ribu. Bukan suatu rekor yang dibanggakan, melainkan suatu fakta jika pandemi atau wabah ini nyata adanya. Lalu, sejauh mana tingkat kesadaran kita sebagai komunitas Muslim? Apakah kita tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya diluar rumah seperti beribadah ke Masjid, Work from Office (WFO), dan berkumpul dengan rekan-rekan?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan himbauan “Tausiyah” tentang Pelaksanaan Ibadah, Shalat Idul Adha, dan Penyelenggaraan Qurban Saat PPKM Darurat. Dalam poin-poinnya, jika daerah suatu komunitas Muslim tersebut masih belum memungkinkan (zona merah) untuk melakukan shalat berjama’ah, sebaiknya dilakukan dirumah masing-masing. Hal ini merupakan ruẖṣaẗ (keringanan) jika kita berpikir progresif, kita bisa melakukan ibadah lebih ataupun kegiatan yang bermanfaat.
Mungkin diantara kita sering bahkan jarang berinteraksi dengan suami, istri, atau anak-anak. Kesibukan yang sebelum pandemi membuat sekat antara keluarga terdekat, sekarang bisa dirobohkan sekat tersebut. Ambil sisi positif dari PPKM Darurat bagi kita. Lalu, kita sebagai komunitas Muslim juga mengalami titik jenuh. Hanya dirumah, tidak beraktifitas di kantor atau luar.
Secara psikologis, ada beberapa yang memang sangat mempengaruhi atau berefek bagi kita. Pertama, efek krisis. Indikasi dari efek krisis yaitu datang mendesak secara tiba-tiba tanpa persiapan dan punya efek negatif yang menekan. Saat awal-awal pandemi, kita tidak memiliki persiapan secara ẓāhir dan batin, sampai kita terdampak oleh COVID-19 ini.
Kedua, uncertainty (ketidakpastian). Efek yang kedua ini paling banyak yang dirasakan oleh komunitas Muslim. Kita khawatir kapan kondisi ini akan berakhir dan dapat beraktifitas seperti sedia kala. Di sisi lain, banyak diantara kita yang sekarang tidak memiliki pekerjaan hingga darimana bisa menafkahi keluarga.
Ketiga, loss off control. Efek ini hanya membuat kita menjadi penonton. Penonton angka kematian yang terus naik, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Kita dihujani berita-berita lonjakan kasus COVID-19, membuat kita ada rasa takut dan waspada (Syifa, 2020).
Dari ketiga efek diatas, dapat memicu atau menimbulkan stress. Untuk itu, kita sebagai komunitas Muslim harus pintar dan cerdas menghadapi pandemi yang terjadi. Muslim harus melakukan inovasi-inovasi yang tetap berpegang dalam maqāṣidu aš-šarīʿaẗ.
Tipologi Komunitas Muslim Saat PPKM
Dalam komunitas Muslim sendiri, terjadi beberapa kasus yang mencerminkan sifat asli dari komunitas tersebut. Sebagai contoh, ketika pemerintah menyarankan masyarakat untuk melakukan vaksinasi. Ada yang sangat antusias untuk mendapatkan giliran vaksin. Tetapi, ada juga yang tidak mau untuk divaksin. Mereka terbagi menjadi tiga kategori seperti berikut:
1. Muslim Progresif
Kategori yang pertama ini gambaran Muslim yang bisa dijadikan percontohan. Mereka sangat antusias untuk menerima vaksin. Tanpa ada perdebatan terkait konspirasi dan pendapat-pendapat negatif (kontra) dari kelompok yang anti-vaksin, kelompok pertama ini berasumsi vaksin sebagai ikhtiar untuk kesehatan dan pencegahan dari virus COVID-19.
Muslim Progresif ini juga mentaati himbauan agar tetap terhindar dari penyebaran virus. Mereka beribadah dan beraktifitas dirumah. Pada dasarnya mereka berpegang tiga kaidah fiqh yang berbunyi: Pertama, darʾu al-mafāsidi muqaddamun ʿalā jalbi al-maṣāliḥ yakni resist damage (menolak kerusakan) harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan. Kedua, lā ḍarara wa lā ḍirāra, bahwa tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang membahayakan (not dangerous) kita dan orang lain. Dan ketiga, al-mašaqqatu tajlibu at-taysīr, yakni suatu kesulitan dapat menjadikan kemudahan (Ishom, 2020).
2. Muslim Regresif