Upaya mengislamkan Nusantara tidaklah mudah. Penuh perjuangan hingga akhirnya Islam menjadi agama mayoritas saat ini. Bagaimana tidak, ketika para wali penyebar Islam menapakkan kaki di tanah Nusantara, mereka diperhadapkan pada masyarakat dengan kebudayaan yang amat mapan, baik sosial hingga agama. Sehingga, proses Islamisasi kala itu mengalami dialektika persentuhan antara Islam sebagai ajaran baru dengan kebudayaan Nusantara.
Wali Songo dan jejaringnya tercatat sebagai kekuatan yang sukses menyebarkan Islam di berbagai penjuru Nusantara (tidak hanya Jawa namun hingga Indonesia Timur). Kesuksesan Wali Songo tersebut tentu disertai dengan strategi dakwah yang matang. Para wali memilih jalan damai, bukan lewat perang atau paksaan, dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sehingga, secara bertahap, pelan namun pasti, Islam diterima oleh masyarakat Nusantara.
Berdasarkan penjelasan Kiai Aqil Siradj dalam Meneladani Strategi “Kebudayaan” Para Wali, artikelnya sebagai pengantar dalam buku Atlas Wali Songo, setidaknya ada tiga strategi (sikap) yang diterapkan oleh para wali dalam upaya Islamisasi Nusantara, yaitu dengan fiqhul ahkam, fiqhul dakwah, dan fiqhul hikmah. Fiqhul ahkam diterapkan dalam dunia pondok pesantren untuk mengajarkan dan menerapkan Islam secara ketat dan mendalam kepada para santri.
Ketika berada di luar pondok, berhadapan dengan masyarakat umum, maka para wali menerapkan fiqhul dakwah, di mana ajaran agama dikenalkan dan diterapkan secara lentur. Konten dakwah disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan.
Dan para wali juga menerapkan fiqhul hikmah, yang membuat ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, dan bahkan termasuk diterima oleh kalangan rohaniawan Hindu, Buddha, serta kepercayaan lainnya (non-muslim).
Jadi, ketika berdakwah para wali tidak asal hantam. Mereka mempelajari betul bagaimana karakteristik objek dakwah yang akan dihadapi, dan kemudian menyesuaikan penerapan dakwahnya agar dapat diterima dengan baik.
Penerapan fiqhul ahkam, oleh para wali dikhususkan dalam dunia pondok pesantren, yang memang merupakan tempat untuk mencetak kader-kader ulama selanjutnya. Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang) diketahui nyantri pada Sunan Ampel di Surabaya dan pada Maulana Ishak di Malaka. Mereka tentu mendapatkan pendidikan Islam yang sangat ketat, saat nyantri pada Sunan Ampel dan Maulana Ishak, sehingga menjadi ulama yang konsisten menyebarkan Islam.
Kiai Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menjelaskan bahwa salah satu bidang dakwah yang digarap Sunan Giri adalah pendidikan. Santri-santri di Pesantren Giri berasal dari berbagai penjuru Nusantara, ada yang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu. Pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri pada abad 15 M di perbukitan Sidomukti, Kebomas, itu berkembang amat pesat. Dan sebagaimana Rizem Aizid dalam Sejarah Islam Nusantara menjelaskan bahwa Pesantren Giri menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa. Bahkan, tidak hanya di Jawa, melainkan berbagai penjuru Nusantara.
Kedisiplinan pendidikan para wali bagi santri-santrinya di pesantren berhasil mencetak kader-kader ulama yang melanjutkan usaha menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Dari Pesantren Giri dikenal Datuk ri Bandang yang menyebarkan Islam di Makassar, Sunan Prapen menyebarkan Islam di Lombok, dan lainnya.
Berbeda dengan dakwah di lingkungan pesantren yang menerapkan fiqhul ahkam, ketika berdakwah di masyarakat (luar pesantren) para wali menerapkan fiqhul dakwah yang mengedepankan sikap lentur atau toleransi. Para wali sadar betul bahwa masyarakat Nusantara telah memiliki kebudayaan yang mapan, sehingga jika Islam ditawarkan tanpa nego-nego, maka hasilnya pasti ditolak dan bakal menimbulkan keributan.