Rizem Aizid menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga dalam berdakwah mampu mempertemukan Islam dengan tradisi Jawa. Sunan Kalijaga mengenalkan Islam kepada masyarakat dengan cara disampaikan sedikit demi sedikit, agar masyarakat yang waktu itu masih menganut Hindu-Buddha serta kepercayaan tradisional tidak kaget dan tidak menolak dakwahnya. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menghindari cara-cara yang dapat menyinggung masyarakat yang belum Islam.
Dakwah Sunan Kalijaga umumnya dilakukan melalui media seni. Diketahui bahwa Sunan Kalijaga merupakan seorang dalang ulung yang sangat ahli dalam dunia seni wayang kulit. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mahir memainkan gamelan dan pandai menyanyikan tembang Jawa. Seni-seni Nusantara tersebut oleh Sunan Kalijaga bukan ditolak, melainkan dimanfaatkan untuk media dakwah Islam.
Sunan Kalijaga paham betul bahwa masyarakat Jawa, yang menjadi objek dakwahnya, sangat tertarik dengan pertunjukan wayang dan tembang. Sehingga, dia pun memasukkan nilai-nilai Islam dalam cerita wayang kulit, dan menciptakan tembang yang sarat dengan pesan keislaman, seperti tembang Rumeksa ing Wengi dan Ilir-ilir. Dengan pendekatan demikian, pelan tapi pasti nilai-nilai Islam merasuk dalam diri masyarakat Jawa.
Selain fiqhul dakwah, para wali bahkan menerapkan fiqhul hikmah yang membuat Islam dapat diterima oleh semua kalangan, bahkan non-muslim sekalipun. Seperti sikap Sunan Kudus yang tidak mau menyembelih sapi–hewan yang dimuliakan Orang Hindu–untuk menghormati kepercayaan pemeluk Hindu. Padahal, sapi termasuk hewan yang halal untuk dikonsumsi, dan sangat digemari. Namun, untuk menghormati sesama umat beragama, maka Sunan Kudus tidak menyembelih sapi (bukan berarti mengharamkan).
Bahkan, dalam upaya menghormati kepercayaan pemeluk Hindu, sampai ada cerita yang berkembang tentang Sunan Kudus. Sebagaimana Kiai Agus Sunyoto menjelaskan bahwa Sunan Kudus tatkala berdakwah pernah tersesat dalam lembah hutan. Dan, Sunan Kudus menemukan sekawanan sapi. Dia pun mengikuti sapi-sapi itu, hingga menghantarkannya keluar dari hutan dan sampai di sebuah desa.
Karena merasa berhutang budi kepada sapi-sapi itu, sehingga Sunan Kudus mewanti-wanti penduduk untuk tidak memakan daging sapi. Saat Idul Qurban pun dikisahkan yang disembelih Sunan Kudus bukan sapi melainkan kerbau. Dan, hingga saat ini, di Kudus tidak ada yang menjual makanan dari daging sapi, dengan alasan tidak berani melanggar larangan Sunan Kudus.
Sikap berdasarkan fiqhul hikmah para wali, membuat Islam yang berkembang di Nusantara adalah Islam ramah yang mampu menghargai perbedaan. Sehingga, Islam dapat menjadi agama yang kehadirannya mampu diterima oleh semua kalangan. Menjadi agama yang mendatangkan rahmat kedamaian dalam kehidupan masyarakat Nusantara yang heterogen.
Dengan strategi dakwahnya, para wali sukses menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka mampu mencetak ulama-ulama yang tidak hanya mumpuni dalam keilmuan, namun juga komitmen mendakwahkan Islam. Membuat Islam menjadi agama yang tidak asing dan diterima oleh masyarakat Nusantara. Serta, membentuk wajah Islam ramah yang mampu menghargai perbedaan dalam keberagamaan masyarakat Nusantara.
Baca Juga: Wayang: Sempat Dilarang, Akhirnya Disayang