Seiring berkembangan zaman, tidak bosan rasanya mata dan telinga ini melihat kejadian dan berita yang ada tentang kekerasan kaum beragama baik seagama maupun tidak seagama. Juga, masih belum hilang dalam ingatan, bahwa negara-negara yang maju justru malah negara yang mayoritas tak bertuhan. Maka dari itu, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Tuhan telah benar-benar mati seperti yang dikatakan Nietzsche dan sebagaimana Dewa-Dewa Nordik yang telah binasa? Atau benarkah ucapan para ilmuwan bahwa Tuhan memang tidak pernah ada?
Bukankah agama mengajarkan kebaikan? Lalu kemana kebaikan itu pergi? Bukankah agama itu adalah cahaya? Lalu mengapa cahaya itu tidak terlihat? Terutama di zaman sekarang ini, zaman yang serba canggih dengan teknologinya, zaman yang semakin banyak ilmuwan-ilmuwannya, sehingga manusia bisa melakukan segala halnya sendiri, lalu kemanakah peranan agama sekarang? Adakah tempat di hati generasi Millenial untuk agama?
Selain itu keprihatinan di era millennial ini, kita mendapati realitas bahwa agama tidak ubahnya organisasi massa yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Yang penting jumlahnya besar, meski kualitasnya biasa-biasa saja. Dalam sudut pandang ini agama tidak lagi dipandang sebagai entitas yang mampu menghadirkan moral yang baik, akan tetapi agama dipandang sebagai mesin politik dan terkadang menjadi alat bagi segelintir orang untuk mencapai kekuasaan. Hal inilah yang membuat nilai hakikat agama menjadi hilang.
Maka dari itu, penulis akan membedah pertanyaan pertanyaan tersebut secara rinci juga memberikan jawaban serta penjelasan yang mendetail untuk mengetahui seberapa pentingnya agama di zaman millenial ini untuk membangkitan semangat dan kesadaran generasi millennial akan relevansi agama sehingga output yang dihasilkan memiliki orientasi yang jelas tujuannya
Agama dan Relevansinya
Manusia adalah makhluk yang dinamis, berubah-ubah, dan berbeda-beda. Sebagaimana salah satu prinsip yang ada, yang berbunyi, “Perbedaan adalah suatu keniscayaan” dan berdasar juga dengan pepatah jawa, “Tidak ada dua telur yang hasilnya sama” . Dari dua hal diatas, bisa kita simpulkan bahwa manusia itu berbeda, begitu juga judgement manusia terhadap suatu hal. Maka dari itu, kegunaan agama saat ini adalah sebagai penentu mana yang baik dan buruk, sebagai pemersatu dari perbedaan-perbedaan manusia.
Jika kita mengandalkan kepintaran/akal saja, maka tidak akan adanya kebaikan universal, contoh, jika orang Belanda datang kemari lalu berenang secara telanjang bulat di pulau Jawa, atau bahkan Aceh, kira kira apa yang akan terjadi? Begitu pula sebaliknya, bagaimana jika orang Indonesia ketika makan di restoran Eropa hanya memakai tangan dan kakinya diangkat satu, kira kira bagaimana hasilnya?.Tentu hal-hal diatas menjadi tidak baik juga