Sebagai sebuah narasi, sastra memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan apa-apa yang dimaksud kepada pembacanya. Penulis, dengan demikian, memiliki peranan penting sebagai seseorang yang harus berhati-hati memilih kata, diksi, dan menyusun kalimat-kalimatnya agar tersampaikan dengan baik kepada pembaca.
Ada sebuah alegori menarik, untuk melihat realitas masyarakat kita tentang ibadah sosial. Narasi ini disampaikan oleh sastrawan ternama Paulo Coelho, dalam karya magnum opusnya yang berjudul Sang Alkemis.
Mula awalnya, pada bagian pertama, tokoh utama sedang khusyuk membaca buku. Tiba-tiba, datang lelaki tua yang hendak mengajaknya berbincang. Tentu, tokoh utama memiliki rasa jengkel, karena pada saat itu konsentrasinya saat membaca buku terganggu. Tapi, dengan sikapnya tidak peduli, lelaki tua itu tetap mengajak si tokoh utama berbincang dengan bertanya nama, asal dari mana, apa pekerjaannya, hingga buku apa yang ada di tangannya.
Dengan nada jengkel tokoh utama menjawab sekenanya saja. Namun, setelah lelaki tua itu terus saja mengganggunya, terbesit untuk membentak, kemudian pergi menjauh dari lelaki itu. Saat akan melakukan niatnya, tokoh utama, tiba-tiba saja teringat petuah mendiang ayahnya, bahwa kita harus menghargai orang lain, apalagi yang lebih tua. Narasi sederhananya dengan diksi indah yang ditulis Paulo Coelho, menjadi indah dengan gambaran tokoh utama yang meredakan kejengkelannya dan menggubris ajakan berbincang dari lelaki tua tadi. Apa yang bisa kita dapatkan dari narasi sederhana yang ditulis Paulo Coelho?
Sebagai manusia modern, kita saat ini sedang hidup pada era mekanisasi, dan digitalisasi. Hingga, pada titik tertentu, memberi dampak yang menghadirkan realitas penuh dengan topeng kepalsuan dan citra hubungan yang lebih kepada hitungan transaksional. Hubungan ini, sederhananya, adalah hubungan yang memiliki tindakan instrumental yang tujuan utamanya adalah untung-rugi, atau akumulasi modal secara materil. Pada akhirnya, manusia modern masuk ke dalam ranah nilai moral, sosial, dan spiritualitas yang kering di alam kesadarannya.
Pada umumnya, ibadah dalam ranah agama bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama adalah ibadah personal, yang hubungannya lebih vertikal (hablum minallah), yang memiliki ruang lingkup untuk menguatkan hubungan antara hamba dengan Allah. Kedua, ibadah sosial, atau bisa dikatakan sebagai hablum minannas, kecenderungan ini berhubungan dengan sesama, baik itu di ranah keluarga, saudara, sahabat, bahkan tatanan masyarakat.
Namun, dari kedua kategori tersebut, ada suatu penyempitan yang sangat dangkal sekali di era modern. Ada beberapa ibadah yang tersingkirkan, baik secara sengaja atau tidak, yakni ibadah sosial, hablum minannas. Mungkin, ibadah dari kategori pertama, menjadi upaya individu hamba untuk membangun secara kolektif, antara hubungannya dengan Tuhan.