Dari jendela sejarah ini, kita akan menyingkap kenyataan masa lalu, yang telah melatari tradisi selamatan tujuh hari bagi orang meninggal dunia. Tentunya ilmu sejarah yang kita kenal dalam perspektif keislaman, memakai piranti-piranti tentang sisi periwayatan, diantaranya menyangkut status perawi, isi riwayat, siklus riwayat, status riwayat, dan kualitasnya. Disiplin keilmuan ini berkaitan erat dengan tradisi riwayat hadits, ilmu hadits, jarh wa ta’dil (kritik sanad), dan studi otobiografi, yang memang sudah sangat komprehensif. Pilar-pilar itu mempunyai interkoneksitas satu dengan lainnya, sehingga agama ini terjaga dengan rapi, di samping memang tradisi riwayat sendiri merupakan tradisi yang mengakar pada masyarakat Arab sejak zaman pra Islam (Jahiliyah), hingga sekarang ini.
Sebagai salah satu contoh dan bukti, syair-syair jahili terjaga sampai sekarang ini, berkat tradisi riwayat, sebelum tradisi tulis menulis muncul pada awal-awal abad hijriyah. Oleh karena itu, apabila ada anggapan kalau sisi riwayat dalam agama adalah pilar sekunder Islam yang bisa didekonstruksi, dan dijadikan sebagai “makhluk kedua”, karena dianggap tidak ilmiah, terlalu subjektif dan arogan, maka anggapan itu ibarat “parasit” yang menggerogoti eksistensi agama Islam.
Sungguh, Islam terjaga hingga saat ini lantaran kerja keras ulama dalam menjaga riwayat dan sanad, dari generasi ke generasi, dari zaman Rasulullah Saw hingga sekarang ini. Jadi, riwayat merupakan bagian yang krusial dalam agama Islam. Siapapun yang mengingkarinya, sebenarnya mengingkari agama Islam sendiri, ingkar terhadap syariatnya, Al-Qur`an, Hadits, Atsar sahabat, Ijma’, maupun Tarikh Tasyrī’ sendiri.
Baca Juga: Sunnah Rasul Saw dalam Tradisi Selamatan (1)
Sebagaimana sebelumnya, penulis telah menafikan dan mementahkan anggapan tentang tradisi selamatan orang mati sebagai tradisi Islam lokal, ajaran Hindu, maupun ritual kejawen, dengan pernyataan dari Al-Hāfidz Imam Suyuthi di atas. Memang ternyata, tradisi “tujuh hari”, “empat puluh hari”, dst, dengan format jamuan makan bagi orang banyak (selamatan), adalah warisan sejarah yang populer di Jazirah Arab, tanah Hijaz sendiri. Popularitas “selamatan” tentu saja tidak serta merta datang dan timbul dengan sendirinya, tapi melewati fase-fase penting yang menjadi bagian sejarahnya. Diriwayatkan dari Sufyan At-Tsaury r.a, bahwa Thāwus – seorang imam tabi’in – mengatakan;
قال طاوس: ” إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia dihadapkan oleh fitnah dalam kubur mereka selama tujuh hari, dan mereka – kaum sahabat dan tabi’in – berantusias baik (mensunnahkan) untuk menyedekahkan makanan, (dan pahala sedekah itu) ditujukan pada mereka – yang mati – selama tujuh hari tersebut”. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Shafwat As Shafwah,[1] juga Imam Ahmad Bin Hambal r.a dalam kitab Az Zuhd tentang riwayat tersebut.[2]
Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Ahwāl Al qubūr juga menyebutkan riwayat yang sama dari Mujahid, juga seorang tabi’in. para ahli hadits menjelaskan tentang status dan kualitas riwayat ini, bahwa sanad riwayat ini adalah shahih, dan hukumnya adalah marfū’ bukan mauqūf,[3] sehingga memberikan keyakinan kuat bahwa status riwayat bisa diterima dalam pandangan hukum dan sejarah. kedua riwayat tabi’in tersebut, Thāwus dan Mujahid, merupakan saksi yang jelas bahwa sejarah tradisi selamatan orang meninggal dunia, telah ada sejak zaman mereka. Tentunya, pantang bagi mereka untuk mereka-reka dan mengada-ada urusan akherat. Tidak mungkin datang dengan sendirinya, tapi kemungkin terdekatnya adalah inspirasi wahyu. Logikanya begini, yang paling mengerti arah dan maksud dari wahyu Nabi Saw adalah sahabat, lalu kaum tabi’in mentransfer pengetahuan tersebut dari sahabat Nabi Saw, hingga mereka mendapatkan ilmu yang sama dengan para sahabat. Maka tentunya, korelasi dua riwayat di atas memang sangat kuat dengan hadist-hadits Nabi Saw dan atsar sahabat tentang fitnah kubur tujuh hari bagi orang mukmin, dan empat puluh hari bagi orang fasiq, yang akan penulis bahas pada tema selanjutnya.