Pasca Webinar “Menangkal Radikalisme Dalam Masa Pandemi” yang diselenggarakan oleh Persada Nusantara pada hari Sabtu 20 Juni 2020, Gus Hatim ketua Persada Nusantara membuat website Home-Islamina dengan misi menampung tulisan-tulisan agak serius soal keislaman, khususnya terkait dengan radikalisme dan Islam Moderat.
Saya kenal dengan Gus Hatim —nama lengkapnya Hatim Gazali, MA—, sosok anak muda yang selalu gelisah dengan persoalan ummat. Saya banyak belajar dengan beliau terutama bila suudah terkait dengan IT, satu ilmu yang sampai sekarang saya masih lebih banyak tidak fahamnya dibanding ngertinya. Gus hatim alumni pesantren Zainul Huda Sumenep dan Salafiyah Syafiiyah Situbondo dengan demikian penguasaannya terhadap khazanah keilmuan Islam boleh dibilang “OKE” punya. Dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki serta penguasaan Bahasa asing mengantarkan beliau menjadi menjadi dosen di Sampurna University. Dan berkat wasilah beliau juga, saya bisa khutbah dan mengisi kajian Ramadhan di kampus tersebut.
Baca juga: 1. Kenapa Islamina 2. Cara Belajar Islam dengan Benar
Ketika Gus Hatim melontarkan idenya membuat “Home-Islamina”, di group, saya yang suka bercanda, mengatakan: “Kenapa “Islamina” bukan “Islamuna”. Kenapa majrur bukan marfu…”. Intinya saya bertanya dengan bercanda kenapa pada kata Islam kok pakai “MI” bukan pakai “MU.
Gus Hatim menjawab candaan saya di group dengan khas beliau, canda tapi serius. Kenapa Islamina, beliau menjawabnya dengan dengan pendekatan filosofis, pokoknya mantap. Candaan saya tersebut, ternyata ditanggapi juga dari Kiyai Yusuf Suharto—seorang cendekia muda yang banyak berkecimpung dan berjuang tentang Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik dengan karya tulis maupun forum seminar. Kata beliau: “majrur itu pertanda tawadhu’, kiayi”.
Candaan saya tentang Islamina yang menggunakan “MI” sebagai tanda majrur, itu mengesankan kenapa kita lebih cenderung majrur/dibawah, sebuah keadaan yang seakan akan mendiskripsikan kita ini punya gejala, yang dalam istilah psikologinya, “Inferiority Complex”, suatu kondisi dimana seseorang menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain. Pertanyaan saya yang seperti bercanda, memang perlu dijawab supaya tidak ada kesan seperti yang saya sampaikan tersebut, yaitu adanya inferiority complex. Dan alhamdulillah Gus Hatim dengan piawainya memberi jawaban secara filosofis yang bisa diterima. Di sisi lain komentar Kiayi Yusuf juga ada benarnya bahwa itu pertanda ‘tawadhu’, rendah hati. Baik jawaban Gus hatim yang filosofis dan Kiyai Yusuf yang berbau tasawuf—subhanallah— hal tersebut menunjukkan keduanya memang “mutsaqqafin” dan sarjana muslim yang oke punya.
Terlepas dari kata islamina yang majrur atau marfu’ serta jawaban Gus Hatim dan kiyai Yusuf, yang jelas komentar tersebut menginspirasi saya untuk menulis renungan subuh kali ini dengan bahasan komentanya Kiyai Yusuf, yaitu tawadhu’.
Secara Bahasa, tawadhu berasal dari kata wadha’a ( وضع) yag berarti merendahkan, dan juga berasal dari kata “ittadha’a” ( اتضع ) yang berarti merendahkan diri. Secara terminology, tawadhu’ sering diartikan dengan rendah hati atau lawan dari sombong/takabbur. Seorang Ulama, Fudhail bin Iyadh saat ditanya tentang tawadhu, beliau menjawab:
أن تخضع للحق وتناقد له ولو سمعته صبي قبلته, ولو سمعته من أجهل الناس قبلته
“Engkau tunduk pada kebenaran dan menerimanya dari siapapun, dan seandainya aku mendengar kebenaran dari seoarng anak kecil, aku akan menerimanya. Begitu pula jika aku mendengarnya dari orang yang bodoh aku akan menerimanya.” ( Ihya ‘Ulumiddin di bab Fi Dzamm al-Kibr wa al-‘Ujub).