Beberapa hari yang lalu ada salah satu teman Medsos yang memberi komentar “nyeletuk” terhadap status penulis. Kata kawan Medsos, “Sudah lah, tidak usah lagi ngomongin soal perbedaan pandangan agama di tengah kondisi sedang carut marut seperti ini. Mendingan mikirin keadaan ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. PHK berjibun dimana-mana.”
Dari pernyataan itu, penulis sadar bahwa awal mula dari radikalisme beragama kebanyakan digawangi oleh faktor ketakutan dan kekecewaan terhadap keterpurukan. Meskipun sebenarnya hanya dipersepsikan terpuruk. Padahal hakikatnya belum tentu demikian. Dan anehnya, keadaan seperti itu justru menuduh agama sebagai akar permasalahan.
Kalaupun yang membuat muak itu adalah perdebatan, saya kira tidak hanya konteks isu tentang Islam yang diperdebatkan. Tetapi juga banyak isu, termasuk ekonomi, politik, dll. Namun, bagi penulis ini unik ketika dibawa pada arus pergumulan intelektual Islam yang dianggap kian memuakkan bagi sebagian masyarakat Islam sendiri. Karena terjadinya perbedaan dianggap sebagai bentuk permusuhan, yang diidentifikasikan dengan saling serang, saling menyalahkan, saling menuduh kafir, bahkan berujung pada gerakan jihad atas nama agama.
Secara geneologis, gerakan takfiri yang hobi sekali menuduh kafir kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya, diklaim sudah ada sejak zaman Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dipelopori oleh kelompok yang keluar dari Sayyidina Ali, Khawarij. Era Khawarij yang bermula pada tahun 41 Hijriyyah itu selain lahir dari gerakan politik, tetapi juga membentuk era merebaknya fatwa keagamaan yang kian pesat, (Khudlari Bik, 140-162).
Munculnya fatwa-fatwa itu merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat yang secara argumen lahir dari dalil Sunnah Nabi Muhammad yang sering berfatwa, melegitimasi fatwa sahabat bahkan memuji Muadz bin Jabal yang pernah melakukan ijtihad ketika tidak menemukan jawaban dari Al-Qur’an maupun dari perkataan Nabi, (Jakfar, 131). Tradisi fatwa seperti ini selanjutnya mengakibatkan terjadinya perbedaan pemikiran yang dikenal dengan Madrasah atau kluster pemikiran Islam yang sudah ada di era tabiin. Ada kluster Madinah dan kluster Ra’yu di Irak, (Sabak, 89).
Dalam konteks Indonesia, gerakan fatwa seperti ini masih berkembang hingga saat ini. NU memiliki Lembaga Bahtsul Masail sebagai forum kajian keagamaan para tokoh NU yang kemudian melahirkan fatwa. Muhammadiyyah juga memiliki Majlis Tarjih yang memiliki peran melahirkan fatwa. Atau Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Uniknya di Indonesia, forum-forum fatwa tersebut mendapatkan tempat yang leluasa. Tidak jarang fatwa-fatwa yang dilahirkan memantik kegaduhan di masyarakat. Ambil contoh fatwa tentang penghapusan kata “kafir” yang dirumuskan oleh LBM NU tahun 2019 lalu juga mendapatkan respon tidak sedap dari sebagian kalangan. Atau fatwa-fatwa MUI yang pernah ditunggangi oleh pemerintah sehingga fatwa yang dihasilkan sesuai keinginan pemerintah, (Suaedy, 2018).