Islamina.id – ISLAM adalah agama di antara agama-agama lain yang saat ini masih melakukan pencarian identitas yang diyakini akan menghantarkannya untuk ikut serta dalam memainkan peranan signifikan di pentas sejarah. Namun, pencarian identitas tersebut nampaknya tidak akan berjalan mulus. Masih banyak aral rintang yang harus dihadapi, internal maupun eksternal.
Menurut dugaan Mohammed Arkoun, selama ia hidup di Eropa, ia melihat seolah ada sebuah fenomena yang membuat kita bingung dan heran, yaitu semacam konspirasi antara Yahudi dan Kristen untuk menyingkirkan Islam, tidak hanya secara teologis, tetapi juga secara kultural dan politis.
Bagi Yahudi-Kristen, Islam adalah agama masyarakat terbelakang yang belum memasuki fase peradaban. Ini didasarkan pada asumsi-asumsi kontradiktif terhadap Islam yang memang sudah menjadi warisan sejak abad pertengahan. Ditambah lagi dengan konflik Arab-Israel yang melahirkan akibat-akibat buruk, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk menghapusnya, jika saja revolusi Islam mencapai titik keberhasilannya.
Hal itu telah memainkan peran besar dalam menyingkirkan Islam dari ‘surga’ teologi Kristen-Yahudi. Sekarang, tidak seorang pun ada yang mengatakan tradisi Yahudi-Kristen-Islam, tetapi yang dikatakan hanya tradisi Yahudi-Kristen, nilai-nilai Yahudi-Kristen dan lain-lain.
Dikatakan demikian, karena Islam, dalam bentuk apapun, dipandang hanya merupakan kelanjutan dari Yahudi dan Kristen. Dalam al-Qur’an sendiri banyak kisah-kisah tentang nabi-nabi kaum Yahudi dan Isa ibn Maryam. Dan mereka (para nabi tersebut) mempunyai kedudukan besar dan transendental bagi kaum Yahudi dan Kristen.
Sebenarnya ‘penyingkiran’ itu tidak hanya terlahir dari satu pihak saja, melainkan dari kedua belah pihak. Kita menolak Barat dan Kristen karena alasan-alasan teologis. Terdapat banyak asumsi-asumsi negatif dari pihak kita mengenai Barat dan Kristen yang perlu dibenarkan dan rehabilitasi.
Cukup bagi kita membuka buku-buku akidah untuk meyakinkan hal itu. Penyingkiran teologis seperti inilah yang secara langsung menimbulkan penyingkiran secara sosial dan politis.
Belum lagi gerakan-gerakan fundamentalisme yang semakin memambah kompleksnya permasalahan dengan diaktifkannya kembali teologi abad pertengahan selaras dengan meluasnya wawasan.
Dulu, Islam disingkirkan karena alasan-alasan teologis, sebab Islam merupakan agama saingan selama abad pertengahan, sedangkan sekarang disingkirkan karena faktor-faktor sekuler.
Dari itu, studi tradisi keislaman tidak pernah mendapatkan porsi memuaskan, justru menjadi bagian orientalis yang tertutup. Inilah barangkali yang menekan Arkoun dan seruan-seruannya agar dilakukan kajian secara menyeluruh terhadap semua tradisi keagamaan tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya, seolah dunia ini tidak pernah mengenal, apakah itu Kristen, Yahudi, Islam dan lain-lain.
Jadi, harus diterapkan metodologi yang sama dalam studi tradisi Yahudi-Kristen-Islam.
Sehubungan dengan kaum orientalis, dalam melakukan studi keislaman, mereka seolah-olah tidak tahu menahu akan perkembangan metodologi yang ada saat ini. Banyak dari mereka yang semata-mata hanya mengumpulkan berbagai data mengenai tradisi Islam sunni, untuk kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan mengatakan, “Inilah Islam, beginilah orang-orang Islam berpikir…,” tanpa dilakukan upaya kongkret untuk mendekonstruksi ketertutupan tradisi tersebut.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa motodologi yang mereka gunakan adalah metodologi lama yang pernah digunakan para orientalis klasik. Metodologi lama yang dimaksud adalah metodogi filologi historis, sebuah metodologi yang hanya terbatas pada pengumpulan data-data secara kronologis dan melihat teks dengan satu makna saja, tidak melihat kemungkinan adanya makna lain yang lebih benar.