Metodologi filologi, dalam pandangan Arkoun, memang baik untuk diterapkan, tetapi sebagai fase pertama dalam melakukan studi, bukan satu-satunya. Jadi, setelah mengumpulkan data-data detail tentang objek apapun, berikut klarifikasi dan penyaringannya, harus dilanjutkan dengan fase lain, yaitu pengolahan dan pengambilan konklusi umum dari data-data yang dikumpulkan tadi. Fase ini menuntut penggunaan metodologi baru, yaitu metodologi psikologi historis, sosiologi historis dan antropologi historis.
Metodologi filologi hanya cukup dengan membahas makna pertama dari sebuah teks, serta perkembangannya dari masa ke masa. Ini memang berguna, tetapi jangan lupa bahwa teks itu akan digunakan saat ini, konteks yang sudah banyak mengalami perubahan dan berbeda dengan konteks-konteks masa lalu. Jadi, harus multi metodologi.
Makanya, sejauh mungkin, harus ada intervensi epistemologis dari kaum orentalis (sebab dalam Islam tidak pernah terjadi revolusi dahsyat dalam masalah metodologi seperti yang terjadi di Barat dan Eropa). Maksudnya intervensi epistemologis yang paripurna, bukan yang setengah-tengah. Tetapi kaum orientalis nampaknya merasa khawatir ketika berbicara mengenai masalah-masalah keislaman. Sebagian dari mereka mengatakan, “Kami kaum ilmuan hanya bertugas mengumpulkan data sebanyak mungkin dari objek yang kami kaji, perkara tugas teorisasi, itu merupakan tugas kaum muslim sendiri, bukan kami.”
Bahkan, selama bertahun-tahun pada masa sebelum ini–entah bagaimana saat ini–di berbagai universitas di Barat dan Eropa, terjadi semacam ketidakadilan. Kalau ada seorang mahasiswa muslim yang ingin menyelesaikan disertasi doktoral, ia tidak akan mendapat penanganan serius dari para pembimbing. Walaupun misalnya, hasil dari penelitiannya tidak bagus, ijazah akan diberikan begitu saja. Para pembimbing hanya akan berkata, “Ini sudah cukup baginya (mahasiswa muslim itu), sebab kalau diberi lebih, tidak akan berpengaruh apa-apa bagi umat Muslim.”
Inilah yang terjadi pada beberapa sarjana kita sebelum ini. Anehnya, mereka merasa bangga dengan hasil yang didapatkan. Tidak sadar bahwa mereka telah dibodohi. Itupun, ketika di tengah-tengah masyarakat, mereka tidak mendapat peluang cukup besar untuk melakukan revolusi. Mengingat bahwa kondisi sosial, politik dan kultural, tidak memungkingkan bagi berlakunya revolusi besar-besaran dalam tubuh masyarakat Muslim. Dan bila kita lihat, dalam masyarakat Muslim, aliran kritis, sampai sekarang, belum menunjukkan indikasi akan berhasil seperti di Yahudi dan Kristen, terutama sekali Kristen Eropa. Dalam Islam, saat ini, yang mendominasi dan menjadi mainstream adalah aliran fundamentalis yang cenderung menutup kran-kran kebebasan.
Kalau kita mengamati kondisi Kristen dengan segenap alirannya, kita akan melihat ruang cukup luas bagi siapa saja, baik kaum agamawan maupun sekularis, untuk melakukan kajian—dalam bentuk apapun—terhadapnya. Kaum agamawan menggunakan seluruh pengetahuan, bakat dan pengaruh pemikiran mereka guna menunjukkan kemahatinggian Kristen di atas agama-agama lain, berikut kemampuannya dalam beradaptasi dengan modernitas. Keimanan mereka bukan merupakan penghalang untuk menerapkan berbagai metodologi paling mutakhir sekalipun dalam studi tradisi keagamaan. Sementara kaum sekularis (intelektual) yang hidup di bawah pengaruh pemikiran dan kultur Kristen, mereka menerima dengan lapang dada demi terlestarikannya berbagai keutamaan agama tersebut, serta memperlakukannya dengan sangat istimewa. Mereka tidak pernah menimpakan problem-problem etnografis ataupun pandangan-pandangan politis negatif terhadap Kristen, sebagaimana mereka timpakan pada agama-agama lainnya.
Sebaliknya, dalam masyarakat Muslim, kita jangan pernah bermimpi akan melihat kebebasan semacam itu. Contoh kecil saja, pembelajaran sejarah agama-agama akan menuai banyak protes dan perlawanan dari kaum mukmin fundamentalis. Bagi mereka, studi ilmiah terhadap agama, apalagi dengan menggunakan metodologi-metodologi modern, akan menyebabkan banyak reduksi. Sebab yang namanya studi ilmiah akan meletakkan keimanan dalam tanda kurung, atau mengabaikan masalah keimanan. Mereka akan merasa “syok” kalau membaca kajian-kajian Arkoun—sebagai contoh—mengenai Islam pertama dan proses pertumbuhannya secara historis. Seorang mukmin tradisionalis beranggapan bahwa agama berada di atas nalar atau di luar nalar, sehingga ia tidak pernah paham bagaimana menerapkan metode-metode rasional dalam studi keagamaan. Bahkan dia menganggap agama adalah nalar itu sendiri, tapi nalar yang mengatasi nalar manusia, dari itu harus diterima apa adanya.
Demi keamanan, tak jarang kita dapati beberapa intelektual Muslim yang berpikiran progresif harus rela hidup terasing di negara orang lain. Seorang Muslim, jika ingin melakukan kajian tentang tradisi keislaman dengan menggunakan metodologi modern, sebagai misal, sebut saja al-Qur’an yang merupakan obyek sensitif bagi masyarakat Islam, paling tidak, harus menghindari dua hal, yaitu bahasa dan letak geografis.
Dengan kata lain, ia harus menulis dengan bahasa Inggris atau Prancis dan harus berdomisili di negara Barat atau Eropa. Mungkin bisa dikatakan, bahwa Nasr Hamid Abu Zaid adalah orang pertama yang secara langsung menulis dengan bahasa Arab dan mengajar di Universitas Kairo, kemudian dengan berani melabrak batasan-batasan yang melarang penerapan metodologi modern, semisal linguistik terhadap al-Qur’an. Artinya, ia telah berani melanggar beberapa batasan sekaligus; pertama, ia adalah seorang muslim; kedua, ia menulis dengan bahasa Arab tentang sebuah obyek yang sangat sensitif, yaitu al-Qur’an; ketiga, ia tinggal di Mesir, tepatnya di Kairo. Bahkan sebelumnya, Muhammad Khalafullah juga berupaya melakukan kritik sastra dalam menganalisa kisah-kisah al-Qur’an, meski akhirnya ia mengalami kegagalan. Inilah kiranya yang membuat malas para pemikir muslim dalam mempelajari metodologi-metodologi mutakhir yang lahir di Barat maupun Eropa.
Tradisi Islam sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang tertulis dengan bahasa Arab, sedangkan tradisi Kristen pertama kali diungkapkan dengan bahasa Aramia (bahasanya al-Masih), kemudian bahasa Greek/bahasa orang Yunani yang merupakan bahasa pertama Injil, setelah itu bahasa Latin (bahasa kedua Injil selama abad pertengahan sampai munculnya era kebangkitan), dan yang terakhir adalah bahasa-bahasa Eropa Modern, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Italia dll. (untuk ketiga kalinya Injil diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa tersebut).
Lain halnya dengan al-Qur’an yang sejak awal diturunkan sampai sekarang adalah al-Qur’an Arab. Memang, umat Muslim selain Arab menulis tradisi Islam dengan bahasa kebangsaan mereka, seperti Persia, Turki, Yordania, Indonesia dll. Akan tetapi al-Qur’an tetap mereka baca dengan teks asli, yaitu bahasa Arab. Maka, jika Islam diberi kenikmatan berupa kontinuitas top pada level bahasa, namun tertimpa keterputusan negatif pada level pemikiran, sehingga Islam terlepas dari dinamika, pluralitas dan keterbukaan yang dimilikinya pada masa-masa pertama, dan sekarang Islam malah memasuki masa dekadensi dan stagnasi skolastik sejak abad kesebelas hingga saat ini.
Dari itu, jangan heran, bila dalam masyarakat Muslim, jarang sekali kita menemukan para ilmuan atau intelektual yang mampu mengajarkan agama dengan metodologi-metodologi modern. Dengan kata lain, mereka yang mampu menerapkan berbagai metodologi sejarah perbandingan sistem-sistem teologis dan filosofis, sekaligus menguasai dasar-dasar analisis dan istilah-istilah antropologi agama, politik, sosial dan kultural. Tanpa syarat-syarat tersebut, sulit bagi kita untuk keluar dari ‘kebodohan’ terorganisir secara kelembagaan sejak beberapa abad yang lalu, sehubungan dengan agama-agama secara umum, dan agama-agama wahyu secara khusus.[]