Ahmad Amin, sejarawan Mesir, menggambarkan mereka sebagai kelompok “yang paling keras, paling kasar dan paling kejam”. Ketika mereka meyakini kebenaran atas sesuatu, mereka akan langsung mengeksekusinya dengan pedang. Karena itu, sejarah mereka adalah sejarah serangkaian perang dan pemberontakan terhadap khalifah.
Menurut Ibn al-Qayyim, kaum Khawarij telah memberikan kemungkinan untuk memerangi manusia dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar. Ia berkata, “Kaum Khawarij keluar memerangi para imam dan memberontak terhadap mereka dengan pedang dalam rangka amar ma’ruf dan nahy munkar.”[9]
Orang yang tidak percaya pada doktrin al-walâ` dan al-barâ`,[10] maka ia musyrik dan tak beragama
Kaum Khawarij menganggap orang-orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka adalah kafir sebagaimana orang-orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka berkata, “Orang yang tidak berhijrah dan bergabung dengan pasukan (tentara), maka ia adalah munafik yang halal darah dan hartanya.”[11] Tetapi ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa orang yang tidak berhijrah kepada mereka atau tidak berperang bersama mereka itu bukan kafir dan bukan musyrik, dan tidak ada yang salah dengannya selama ia berpijak pada akidah yang kokoh, kesetiaan penuh, dan membenci orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Mereka berlepas diri dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dari umat Muslim. Mereka tidak menganggap kecuali hanya diri mereka sendiri. Al-Mubarrad berkata, “Kaum Khawarij dalam semua jenisnya berlepas diri dari pembohong dan pelaku maksiat yang nyata.” Mereka menganggap orang-orang selain mereka termasuk golongan pelaku maksiat yang nyata.
Bagi mereka ajaran al-walâ` dan al-barâ` sangat penting setelah tauhid. Orang yang tidak setia dan tidak memusuhi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka maka ia dianggap tidak beragama. Sebab orang beragama harus setia/patuh kepada para kekasih Allah sehingga ia disebut mukmin, atau sebaliknya ia membenci mereka sehingga ia disebut tidak mukmin.
Ajaran al-walâ` dan al-barâ` harus diketahui begitu seseorang mencapai usia taklîf (usia di mana seseorang wajib melaksanakan semua perintah agama), dan tidak ada alasan bagi orang yang tidak tahu. Setiap orang wajib mengetahuinya, dan orang yang tidak meyakini bahwa itu wajib maka ia musyrik.
Mengkafirkan dan Memurtadkan Sahabat Nabi
Kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi, di antaranya Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-Awwam, Abu Musa al-Asy’ari, Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn al-Ash, dan orang-orang yang menerima hasil tahkîm (arbitrase). Bagi Kaum Khawarij, mereka semua akan berada di neraka.
Mereka berlepas diri dari Utsman ibn Affan dan kekhilafahannya. Mereka menganggapnya murtad dan kafir. Sebagaimana mereka juga berlepas diri dari Ali ibn Abi Thalib, bahkan sebagian dari mereka menganggapnya bukan muslim secara mutlak.
Di dalam suratnya kepada Abdul Malik, Abdullah ibn Ibadh, pemimpin sekte Ibadhiyah (salah satu sekte Khawarij), berkata mengenai Utsman ibn Affan, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan Yazid ibn Abi Sufyan, “Sesungguhnya kami bersaksi demi Allah dan para malaikat, kami berlepas diri dari mereka semua. Kami adalah musuh mereka dengan tangan, lisan, dan hati kami. Kami hidup berdasarkan itu, mati berdasarkan itu, dibangkitkan berdasarkan itu, dan dihisab berdasarkan itu di sisi Allah.”
Menghalalkan Darah dan Harta, serta Membunuh Anak-Anak
Kaum Khawarij menghalalkan darah dan harta orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, terutama penguasa. Mereka memandang bahwa melenyapkan para pemimpin zhalim dan mencegah mereka untuk menjadi penguasa dengan cara apapun yang memungkinkan, baik dengan pedang ataupun dengan yang lainnya, itu sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan. Mereka mengkafirkan seluruh bangsa yang menurut mereka telah keluar dari Islam sehingga halal darahnya.
Mereka menganggap bahwa negeri orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah negeri kekafiran. Mereka berpendapat boleh mengkhianati amanah (kepercayaan) yang terjalin dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan tidak melaksanakannya. Mereka mengharamkan kepemimpinan salah seorang dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau menikahi mereka, atau mewarisi mereka, atau tinggal bersama mereka, atau memberikan kesaksian untuk mereka, atau menerima pengetahuan agama dari mereka.
Beberapa pemimpin kaum Khawarij sepakat mengatakan, “Adapun mengenai bolehnya mengkhianati amanah, maka barangsiapa yang berlawanan dengan kami, Allah menghalalkan darah dan hartanya untuk kami. Darahnya halal secara mutlak, dan hartanya adalah fay` (harta rampasan) yang boleh diambil oleh umat Muslim (maksudnya kaum Khawarij, red.). Negerinya adalah negeri kesyirikan, semua penduduknya musyrik, sehingga boleh diperangi, dibunuh, dirampas hartanya, dan ditawan.”[12]
Baca Juga:
Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (4)
[1] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 132
[2] Muhammad Salim al-Majlisi, Ithâf al-Bararah bi Mawâni’ al-Takfîr al-Mu’tabarah, Mimbar al-Tauhid wa al-Jihad, 1428, hal. 69
[3] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 122 – 123
[4] Ibid., hal. 118
[5] Abdullah ibn Baz, Majmû’ah Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah (Juz 2), Riyadh: Dar al-Qasim, tt., hal. 28
[6] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halab, 1967, hal. 113
[7] Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmîyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn (Juz 1), Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, hal. 194
[8] Abu al-Abbas Muhammad ibn Yazid al-Mubarrad, al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., hal. 199
[9] Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, Muqaddimah fî Asbâb Ikhtilâf al-Muslimîn wa Tafarruqihim, Kuwait: Dar al-Arqam, Cet. 2, 1987, hal. 30
[10] Al-Walâ` artinya kesetian dan kecintaan, yaitu setia dan mencintai umat Muslim, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka. Sedangkan al-Barâ` artinya berlepas diri dan kebencian, yaitu memutus hubungan atau ikatan hati dengan kaum kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.
[11] Ibn Hazm al-Zhahiri, al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ` wa al-Nihal (Juz 5), Beirut: Dar al-Jail, tt., hal. 53
[12] Dr. Muhammad Abu al-Syabab, al-Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum wa ‘Aqa`iduhum, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1971, hal. 215