Jumat, Agustus 22, 2025
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
Akar Historis Kelompok Radikal Di Dalam Islam (8)

Akar Historis Kelompok Radikal Di Dalam Islam (8)

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (8)

Najdat

Roland Gunawan by Roland Gunawan
13/11/2021
in Kajian, Tajuk Utama
5 1
0
6
SHARES
115
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Sekte ini dipimpin oleh Najdah ibn Amir al-Hanafi. Mulanya sekte ini hanyalah segerombolan orang yang tidak puas dengan beberapa pandangan Nafi’ ibn al-Azraq. Mereka kemudian melepaskan diri dari kelompok Nafi’ ibn al-Azraq dan pergi ke al-Yamamah. Di sana mereka bertemu dengan Najdah ibn Amir al-Hanafi dan membaiatnya sebagai pemimpin mereka dengan memberinya gelar “Amirul Mukminin”. Mereka menguasai Bahrain, daerah-daerah di sekitar pantai Teluk, Amman, dan beberapa bagian dari negeri Yaman.

Sejumlah buku sejarah menyebutkan bahwa sebab perselisihan mereka karena Nafi’ ibn al-Azraq berpandangan bahwa taqîyyah tidak boleh, dan orang yang ikut berperang adalah kafir. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah,” [QS. al-Nisa`: 77], dan firman Allah yang lain, “Mereka berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela,” [QS. al-Ma`idah: 54].

BacaJuga

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

Berbeda dengan Nafi’ ibn al-Azraq, Najdah ibn Amir al-Hanafi berpandangan bahwa  taqîyyah boleh. Ia mendasarkan pandangannya kepada firman Allah, “Kecuali karena [siasat untuk] menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka,” [QS. Ali Imran: 28], dan firman Allah yang lain, “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata,” [QS. al-Mukmin: 28]. Ia mengatakan bahwa orang yang tidak ikut berperang itu boleh, tetapi jika orang itu punya kemampuan yang memungkinkannya, maka ikut berjihad atau berperang itu lebih utama, sebagaimana firman Allah, “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (berdiam diri dan tidak berjihad) satu derajat,” [QS. al-Nisa`: 95].

Nafi’ ibn al-Azraq berkata, “Itu mengenai sahabat-sahabat Nabi Saw. yang saat itu dalam keadaan tertindas. Tetapi orang-orang lain yang punya kemungkinan, kalau mereka tidak berjihad maka itu adalah suatu kekafiran, seperti firman Allah, ‘Sedangkan orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja,’ [QS. al-Taubah: 90].”

Najdah ibn Amir al-Hanafi mengirim putranya dengan membawa pasukan untuk menyerang penduduk Qatif. Mereka membunuh semua laki-laki di sana dan menawan perempuan-perempuannya. Kemudian mereka memberikan penilaian terhadap setiap perempuan tawanan mereka. Mereka berkata, “Kalau nilai mereka (para perempuan itu) setara dengan mutiara kita, kita ambil. Kalau tidak, kita kembalikan.” Mereka pun menikahi sejumlah perempuan yang mereka anggap pantas untuk mereka, dan mereka juga makan dari harta rampasan sebelum dibagikan. Ketika mereka kembali ke Najdah ibn Amir al-Hanafi dan memberitahukannya tentang hasil penyerangan, ia berkata, “Atas dasar apa kalian boleh melakukan itu?” Mereka berkata, “Kami tidak tahu kalau itu tidak boleh kami lakukan.” Ia memaafkan mereka karena ketidaktahuan mereka. Namun di antara pengikutnya terjadi perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka menyetujui pendapat Najdah ibn Amir al-Hanafi yang memaafkan kesalahan karena ketidaktahuan, dan mereka memberlakukan itu ketika mereka menyerang kota Madinah, kota Nabi.

Menurut Najdah ibn Amir al-Hanafi, orang yang melakukan suatu kesalahan, atau melakukan kebohongan kecil, atau melakukan dosa kecil dan ia terus-menerus melakukannya, maka ia kafir yang musyrik, demikian juga dalam dosa besar (al-kabâ`ir). Orang yang melakukan dosa besar (seperti berzina, mencuri, dan meminum khamr), hanya sekali melakukannya dan tidak terus-menerus, ia tetap muslim, tidak musyrik. Pelaku dosa besar dari pengikutnya sendiri tidak dianggap kafir, dan Allah pun akan mengampuninya. Jika pun Allah menyiksanya, maka itu bukan di dalam neraka, dan setelah itu Allah akan memasukkannya ke surga. Tetapi jika pelakunya berasal dari golongan lain yang tidak sepaham, dianggap kafir dan Allah akan menyiksanya di dalam neraka karena dosanya.

Pandangan-pandangan Najdah ibn Amir al-Hanafi itu rupanya memicu perbedaan pendapat dan konflik di antara para pengikutnya. Mereka kemudian terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu Najdiyah, Athwiyah, dan Fadaikiyah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebagian besar pengikutnya membenci dan menaruh dendam kepadanya atas berbagai pendapat yang—menurut mereka—ia buat-buat dalam masalah agama. Mereka berkata kepadanya, “Pergilah ke masjid, bertaubatlah atas apa yang telah kau perbuat.” Ia pun melakukannya. Kemudian sebagian dari mereka menyesal telah menyuruhnya untuk bertaubat, mereka berkata kepadanya, “Kau adalah imam, kau punya hak untuk berijtihad [dalam masalah agama], maka cabutlah taubatmu, dan mintalah orang-orang yang memintamu bertaubat untuk bertaubat. Kalau tidak, kami akan memerangimu.” Ia pun melakukannya. Dan sikapnya ini membuat sebagian pengikutnya yang lain memberontak terhadapnya dan mencopot kedudukannya sebagai imam, sampai akhirnya ia terbunuh di tangan Abu Fadaik yang kemudian menggantikan kedudukannya.

Ibadhiyah

Sekte ini dipimpin oleh Abdullah ibn Ibadh. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Abdullah ibn Ibadh mulanya adalah bagian dari pengikut Nafi’ ibn al-Azraq, tetapi ia kemudian membelot dan memisahkan diri. Sementara sebagian riwayat lain menyatakan bahwa Jabir ibn Zaid adalah pendiri sekte Ibadhiyah yang sesungguhnya. Ia adalah seorang tabi’in, ahli fikih, dan merupakan murid dari Abdullah ibn Abbas. Namun karena beberapa sebab, ia berlepas diri dari mereka dan tidak mengakui mereka.

Page 1 of 2
12Next
Tags: Akar Radikalisme IslamkhawarijSekte IbadhiyahSekte Najdat
Previous Post

Jelang Satu Abad, Kepemimpinan NU Kembali ke Jombang?

Next Post

Kenapa Egoisme Dilarang Islam?

Roland Gunawan

Roland Gunawan

Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

RelatedPosts

dekonstruksi di era digital
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

26/07/2025
Peran Media Sosial Dalam Mewujudkan Siswa Toleran
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

22/07/2025
edisi desember 2024
Bulletin

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

25/12/2024
Yang Penting Bukan Pengangguran
Kolom

Yang Penting (BUKAN) Pengangguran

04/12/2024
Islamina Edisi November 2024
Bulletin

Menghidupkan Kesyahidan Pahlawan

18/11/2024
Bulletin edisi oktober
Bulletin Islamina

Jihad Santri di Abad Digital

11/10/2024
Next Post
Pandemi Covid-19 Sebagai Momentum Untuk Berjihad

Kenapa Egoisme Dilarang Islam?

Menyoal Isu Kemunduran Umat Islam: Kuru, Ulil Dan Luthfi

Menyoal Isu Kemunduran Umat Islam: Kuru, Ulil, dan Luthfi

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

hukum alam

Hukum Alam Adalah Hukum Tuhan: Apakah Mukjizat Mengingkari Sebab-Akibat

21/08/2025
Membantah Pernyataan Zulkarnain Yusuf Tentang “indonesia Negara Kafir”

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Iman

15/08/2025
teologi kemerdekaan

Al-Baqarah : 177 – Peta Jalan Teologi Kemerdekaan dalam Islam

15/08/2025
kerusakan alam

Ketika Alam Tak Lagi Sakral: Ikhtiar Membangun Eko-Teologi dari Kritik Jantung Peradaban

02/08/2025
kurt godel

Ketika Tuhan Dibuktikan Tidak dengan Keimanan Buta, Tetapi dengan Logika: Kurt Gödel dan Rumus Ketuhanan

27/07/2025

Trending Artikel

  • Ulama Scaled

    Mengenal Istilah Rabbani

    319 shares
    Share 128 Tweet 80
  • 4 Penghalang Ibadah Kepada Allah Menurut Imam Al-Ghazali 

    298 shares
    Share 119 Tweet 75
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    264 shares
    Share 106 Tweet 66
  • Kitab Tajul ‘Arus: Makna Pengorbanan dan Obat Penyakit Hati

    256 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Kitab “Majmû’ Fatâwâ” Karya Ibnu Taimiyah (1)

    248 shares
    Share 99 Tweet 62
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.