Aktivitas keagamaan dalam konteks ini bukan hanya yang berkaitan dengan seremonial keagamaan sebagai kearifan lokal (local wisdom), seperti maulid Nabi Muhammad, haul akbar, sedekah bumi (Geertz 2017), manaqib, shalawatan dan lain sebagainya. Tetapi juga yang berkaitan dengan ibadah wajib ritual seperti shalat berjamaah lima waktu, shalat jum’at, hingga tentang pengurusan jenazah (tajhizul janaiz).
MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga fatwa tertinggi di Indonesia yang pertama kali responsif terhadap pergeseran ini. Tidak tinggal diam, semenjak awal pandemi MUI secara masif mensosialisasikan pandangan keagamaan yang sesuai dengan penanggulangan Covid-19. Pandangan tersebut juga merupakan buah atas segala pertimbangan referensi keagamaan yang diambil dari sumber-sumber otoritatif atas orientasi kemaslahatan umat.
Covid-19 dengan berbagai variannya dalam dunia medis diklaim sebagai penyakit yang berbahaya dan sangat cepat penularannya. Pada bulan Mei lalu, Kementerian Kesehatan secara resmi mengeluarkan maklumat bahwa sudah ada varian baru di Indonesia yang tingkat resikonya lebih tinggi daripada sebelumnya. Yaitu varian dari London atau B117, varian dari Afrika Selatan atau B1351 dan varian dari India B1617.
Berpijak dari penyebab itu, MUI beberapa hari ini merilis fatwanya kembali tentang dibolehkannya melakukan pemakaman jenazah Covid secara masal jika sudah kesulitan mendapatkan lahan, serta himbauan untuk melaksanakan shalat jum’at diganti dengan shalat zuhur di rumah masing-masing.
Meskipun fatwa tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi oleh seluruh masyarakat, faktanya, sebagian dari masyarakat kita ada yang masih menolak protokol covid. Baik yang berkaitan dengan ibadah keagamaan maupun pengurusan jenazah. Anehnya, penolakan mereka juga mengutip teks-teks sumber agama. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di salah satu masjid di Bekasi. Mereka melarang siapapun yang masuk di masjid dengan pakai masker. Mereka yang melarang dengan serampangan menyitir ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 97, “Siapapun yang masuk di dalamnya, maka akan mendapat keamanan.”
Kasus tersebut merupakan salah satu bukti dari sekian banyaknya masyarakat Indonesia yang masih menganggap Covid sebagai isu besar yang terorganisasikan. Kelompok yang tidak percaya dengan covid jumlahnya pun sangat banyak. Tahun 2020 lalu, BPS melakukan survei terhadap masyarakat antara yang percaya dan tidak percaya terhadap covid. Temuannya sangat menakjubkan. Pada saat itu, sekitar 45 juta masyarakat Indonesia atau sekitar 17% yang tidak percaya adanya covid.