Meskipun demikian, tren berislam di Indonesia ini juga cukup unik jika dibandingkan dengan munculnya semarak berislam di Iran Pasca-reformasi, misalnya. Dale Eickelman dan James Piscatori mencatat, jika pada saat itu muncul kesadaran di kalangan umat Islam akan agamanya sebagai system hidup yang objektif yang senyatanya sedang dihadapi. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan kritis tentang itu. Misalnya, mereka bertanya, “Apakah artinya Islam bagi kehidupan muslim?” Bagaimana Islam memandu kehidupan muslim?” dan seterusnya. Namun di Indonesia model seperti ini seakan bungkam di tengah menyeruaknya kesadaran masyarakat terhadap Islam.
Saklek
Fenomena pemahaman Islam yang “saklek” juga bukanlah hal baru. Dulu, para santri di pesantren tempat saya belajar juga banyak yang memiliki pemahaman Islam yang seperti demikian. Namun apakah mereka radikal? Sebenarnya saya tidak sepakat dengan istilah “radikal” untuk menyebutnya seperti yang dituduhkan Barton terhadap NU saat itu. Namun jika harus disebut sebagai pemahaman yang kolot barangkali bisa jadi benar. Penyebabnya, belajar di pesantren memang saatnya digodok dalam satu bejana pemikiran. Sehingga para santri hanya bisa menyerap satu alur informasi tentang Islam dari kiai dan ustadz pesantren.
Lalu apakah demikian itu menjadi pangkal radikalisme? Ternyata tidak. Fakta-fakta yang yang bisa kita lihat, minim sekali terjadi radikalisme dari para alumni pesantren. Hal ini didorong karena faktor pembacaan tentang Islam terus dilakukan secara berulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Kemudian dilakukan upaya-upaya mencari relevansi terhadap kasus yang sedang dihadapi.
Gus Dur dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari Jombang” menampik jika terjadi pemahaman yang saklek dari para kiai pesantren. Para kiai dinilai telah memberikan sumbangan pemikiran brilian yang disebarkan oleh para santri ketika lulus dari pesantren, dengan modal pemahaman agama yang kuat.
Lain lagi jika pemahaman agamanya cekak. Karena belajar agamanya hanya mengikuti tren kemudian dengan percaya diri beranggapan jika pemahaman agama yang didapat sudah paling benar. Ini yang tidak dikehendaki dalam Islam.