Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman di Nusantara, didominasi oleh studi tentang ajaran tasawuf yang kemudian banyak terwadahi dalam ordo-ordo tarekat. Tetapi tak cukup satu hal itu, ada studi sejarah peradaban dengan fokus permasalahan ilmu-ilmu keislaman yang tidak kalah menarik untuk dijadikan tema kajian, seperti Ilmu Qirā’at. Disiplin ilmu ini justru di posisi otoritas tertinggi dalam menentukan autentisitas sumber utama ajaran Islam yakni Alquran.
Sebelum membahas apa itu Ilmu Qirā’at, sebaiknya mengetahui apa itu Qirā’ah. Qirā’at secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata verbal qa – ra – a yang bermakna bacaan. Adapun secara terminologi, mengutip penjelasan Ali aṣ-Ṣabūniy dalam kitab Aṭ-Ṭibyān fī ʿUlūm Al-Qur’ān, mengartikan Qirā’at sebagai suatu aliran pembacaan Alquran yang dipelopori oleh para Imam Qirā’at, dengan suatu madzhab yang berbeda dengan yang lainnya pada pembacaan Alquran, dan aliran-aliran ini tetap kuat dengan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. (aṣ-Ṣabūniy, 1985).
Sedangkan Ilmu Qirā’at adalah ilmu mempelajari sistem dokumentasi tertulis dan artikulasi lafadz Alquran. Objek ilmu Qirā’at fokus dalam kalimat atau ayat-ayat Alquran secara menyeluruh atau lafadz demi lafadz. Seperti bagaimana membaca idghām, idzhār, imālah, qashar, hadzf dan lain-lain.
Sejarah Qirā’at
Banyak yang menyalahartikan Qirā’at sebagai bid’ah. Setiap orang membaca Alquran dengan mempelajari lagam seperti Bayati, Nahawan, Ziharkah, Rasy, dan lain-lain, pasti sesuai dengan suara, bakat, dan nafas yang dimiliki (Hasan Bisri, 2019). Semua dibolehkan selama tidak merubah watak yang ia miliki, terlebih sampai merusak tuntunan tajwid.
Secara historisitas, Qirā’at sudah ada saat Rasulullah SAW. masih hidup. Orang yang pertama mengumandangkan Qirā’at kepada para Sahabat adalah Rasulullah SAW. sendiri. Seperti pendapat Al-Hibsy yang mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW. adalah Syekh Qirā’at pertama, beliau berguru wajah-wajah qirā’at semua secara talaqqi dari malaikat Jibril a.s.”, (Al-Hibsy, 1999). Apabila ada suatu perbedaan wajah baca di kalangan Sahabat, maka langsung bisa diselesaikan oleh Rasulullah SAW.
Kemudian ada beberapa kalangan Sahabat yang ahli Qirā’at diantaranya: Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit al-Anshāri, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari, (Abdullah, 2006). Dalam versi lain, Adz-Dzahabi menambahkan Abu Darda’ atau ʿUwaimar bin Zaid sebagai kalangan Sahabat yang ahli Qirā’at, (Adz-Dzahabi, 1997).
Selanjutnya masuk pada periode Tabi’in. Di antara para Tabi’in yang masyhur ahli Qirā’at serta tinggal di beberapa wilayah sebagai berikut:
Madinah:
a. Said Ibnu Al-Musayyab
b. Urwah bin Az-Zubair
c. ‘Umar bin ‘Abdul Aziz
d. Sulaiman bin Yasar
e. Zaid bin Aslam
f. Ibnu Syahaf Az-Zuhri
g. Abdurrahman bin Hurmuz
h. Mu’adz bin Al-Harts
Makkah:
a. Mujahid
b. Thawus
c. Ikrimah
d. Ibnu Abī Malikah
e. ‘Abid bin Āmir
Basrah
a. ‘Amir bin ‘Abdul Qais
b. Abū Al-‘Aliyah
c. Nashr bin ‘Āshim
d. Yahya bin Ya’mar
e. Jabir bin Al-Hasan
f. Ibnu Sirin