Para peneliti mengatakan bahwa gejala merebaknya ustadz-ustadz seleb ini mulai ramai semenjak jatuhnya Orde Baru, yang digawangi dengan derasnya media Informasi. Namun di sisi lain, juga disebabkan “lahirnya” para dai konservatif yang telah lama menahan diri tampil ke publik. Kemudian di era reformasi merupakan momen emas yang digadang-gadang para pengusung ideologi konservatif itu. Untungnya lagi, mereka dapat memainkan popularitas sebagai media dakwah yang seolah mengislamkan segala lini, (Turner, 2007).
Era ini bahkan ada yang menyebut sebagai re-islamisasi (pengislaman kembali), (Heryanto, 2015). Meskipun lebih tepatnya tidak disebut demikian, melainkan dilihat sebagai bentuk tampaknya kesalihan umat di “layar publik.” Identifikasinya sangat simpel, yaitu mengacu pada aktifitas masyarakat yang sudah tidak lagi menyembunyikan kesalihan pribadinya. Seperti aktifitas mengaji Al-Qur’an yang dulu hanya dilakukan secara privasi kemudian bergeser menjadi tren dan dilakukan secara berjamaah. Atau ibadah umrah yang dulu hanya dilakukan secara pribadi, lalu muncul ada model baru umrah bersama dengan para artis, kemudian diajak selfie, dll.
Lebih lanjut, hal ini juga mempengaruhi terjadinya pergeseran otoritas keagamaan. Ustadz-ustadz seleb tidak lagi dilihat dari sudut pandang memiliki kapasitas ilmu agama yang mumpuni atau tidak. Akan tetapi yang paling penting adalah gaya ceramahnya bisa membuat publik tertarik. Karena biasanya para seleb memang menguasai panggung ceramah dan penampilan yang baik sehingga bisa sesuai dengan selera masyarakat perkotaan.
Gejala-gejala ini menjadi warna bagi keberagamaan muslim Indonesia. Tentunya sebagai umat yang menempati posisi mayoritas di suatu Negara, perananya sangat berpengaruh dalam membentuk watak suatu Negara tersebut. Hanya saja, di Indonesia, semenjak akhir tahun 90 an, justru mengalami perubahan, dari yang semula sebagai muslim ramah, toleran, menjadi intoleran, radikal, dan melakukan kekerasaan atas nama agama, (Fealy&White, 2012).
Meskipun tampaknya apa yang dilihat oleh Greg Fealy dan Sally White mungkin masih bercorak “keindonesiaan,” yang hemat penulis, tersulutnya amarah masyarakat Indonesia tidak sekencang bangsa lain yang lebih keras kepala. Bukti ini bisa dilihat dari aksi berjilid-jilid beberapa tahun lalu, yang justru digelar dengan klaim “aksi damai.” Dan uniknya, lagi-lagi ustadz-ustadz seleb ikut memobilisasi gerakan ini.