Bagaimana Menyikapi Kegaduhan ini?
Untuk menjawab ini, perlu menyadari bahwa dialektika antara teks sebagai wahyu dengan akal terus mengalami perkembangan sepanjang zaman. Dari adanya dialektika ini kemudian melahirkan penafsiran, kontekstualisasi, dan revitalisasi wahyu dalam realitas obyektif.
Perubahan hukum karena perubahan waktu, tempat dan kondisi ini dibakukan dalam salah satu kaidah Ushul Fikih, “Taghayyurul ahkam bitaghayyuril amkan wal ahwal”, yang artinya bahwa perubahan hukum itu terjadi seiring terjadinya perubahan tempat, masa dan kondisi, (Asmani, 31). Lalu pertanyaannya, bukankan perubahan sosial itu suatu realitas?
Para pakar sosiolog berpendapat bahwa perubahan terjadi pada nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola tindakan suatu kelompok, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dll, (Soekanto, 259). Namun ada juga faktor-faktor yang menghalangi terjadinya suatu perubahan, antara lain: kuranganya komunikasi dengan kelompok lain, perkembangan pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat yang sangat tradisional, kepentingan lokal yang sangat kuat (vested interest), takut terjadi kegoyahan atas budaya lokal, tertutup, pesimis, (Soekanto, 286-288).
Namun di era globalisasi, arus informasi yang sangat deras seperti saat ini, rasanya sulit sekali menerima terjadinya perubahan. Sehingga perubahan akan terus terjadi secara dinamis. Pergumulan pemikiran Islam, pro-kontra tentang faham keagamaan akan terus mendapatkan tempatnya. Didukung lagi sikap negara demokrasi yang mengakomodir terjadinya perdebatan pemikiran selama masih dalam koridor tidak melahirkan gerakan anarkis, radikalis dan ekstrimis.
Dalam konteks seperti ini, kita harus faham bahwa hukum Islam harus mampu merespon perkembangan masyarakat. Karena pada prinsipnya, Islam sendiri mengandung dua unsur: Pertama, bersifat qath’i. Artinya sudah pasti, tidak ada ruang untuk ditafsirkan ulang. Kedua, zhanni, yang masih asumtif dan memberikan ruang untuk dilakukan penafsiran. Prinsip kedua ini yang melatar belakangi terjadi pengembangan atas faham keagamaan Islam.
Dapat dipafahami bahwa hukum Allah memang bersifat permanen, universal, eternal. Namun jika diaplikasikan pada masyarakat, hukum haruslah bersifat adaptif, berkembang, partikular dan beragam sesuai dengan tuntutan lokalitas dan tidak boleh usang. Jadi, jika prinsip-prinsip seperti ini yang menjadi orientasi para pemikir Islam yang sedang bergumul saat ini, pasti akan terlihat indah. Hanya saja, barangkali yang memuakkan adalah para “penggaduh” tanpa latar belakang keilmuan yang jelas.