Memang sejak pertama di Indonesia, gagasan Khilafah itu tidak pernah mendapatkan tempat. Bisa kita lihat organisasi-organisasi Islam yang besar seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ atau sebagainya, tidak ada yang konsen dengan wacana Khilafah.
Pada tahun 1924, ada “komite khilafah” yang ingin membela Turki Utsmani ketika dibubarkan oleh Turki muda. Kemudian ulama-ulama Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan ulama-ulama dari pesantren ikut ke Hijaz dan meminta agar membatalkan keputusannya memakzulkan Sultan Abdul Hamid II. Tapi cuma sampai disitu saja dan selanjutnya tidak berkembang dalam ranah pemikiran.
Kemudian tokoh Islam seperti Haji Agus Salim mengatakan bahwa khilafah tidak relevan di Indonesia. Menurutnya, khilafah merupakan kekuasaan yang despotik dan opresif. Dan tidak menganjurkan harus ditiru.
Lalu, sampai pada masa Presiden silih berganti tidak ada perhatian soal khilafah. Sementara infiltrasi tidak ada tindakan dari pemerintah dan kemudian dengan menggunakan retorika-retorika dan jargon jargon yang mungkin bagi sebagian orang menarik.
Misalnya, isu bahwa kita sudah dijajah oleh liberalisme ekonomi, dijajah oleh Amerika secara politik, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita harus menghadapinya, satu-satunya cara yaitu dengan membuat khilafah dengan menerapkan Syariah.
Khilafah dan Syariah dianggap satu-satunya penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam atau yang dihadapi oleh bangsa Indonesia atau bahkan oleh umat Islam sedunia.
Maka, bagi sebagian orang yang mungkin menghadapi kesulitan ekonomi, menghadapi kesulitan politik, tidak jelas masa depan, susah mencari kerja, tidak mendapatkan kehidupan yang layak terutama anak muda, maka bagi mereka itu menjadi hal yang menarik.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah beserta ormas-ormas Islam adalah lebih aktif menjelaskan dan melakukan counter wacana terhadap gagasan-gagasan khilafah. Menunjukkan dimana kelemahan-kelemahannya. Penyesatan-penyesatan apa yang dilakukan oleh konsep khilafah tersebut. Dan harus dilakukan secara terus-menerus.
Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan Prof. Azyumardi Azra.