Demokrasi yang didasarkan pada kewarganegaraan dan kemitraan politik untuk semua mendapat tempat yang baik di dalam konsensus-konsensus ini, dan hasilnya adalah stabilitas dunia Kristen di atas kemapanan-kemapanan dan sumber-sumber yang hari ini menjadi bagian bersama antara semua masyarakat Kristiani Barat yang sekuler, liberal dan demokratis, atau negara sipil, dengan beberapa pengecualian di sana-sini.
Hubungan Agama dan Politik
Hubungan antara agamawan dan politisi dalam masyarakat Kristiani dapat dijelaskan dengan melihat sifat agama Kristen yang memisahkan antara iman Kristen di satu sisi dan politik dan negara di sisi lain, sebagaimana dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,” [Matius 22: 21].
Selain itu, fakta bahwa al-Masih tidak mendirikan negara atau menjalankan pemerintahan, menjadi teladan luhur bagi masyarakat Kristiani untuk tidak mencampuradukkan antara agama dan negara.
Pertimbangan-pertimbangan lain yang membantu mengokohkan posisi demokrasi di dalam masyarakat Kristiani Barat adalah kebangkitan intelektual, industri dan sains, serta kuatnya posisi kaum intelektual atau kelas intelektual yang tercerahkan, juga kesadaran dan kematangan masyarakat Kristiani Barat yang pernah mengalami penderitaan akibat dominasi gereja dan ketiadaan akal.
Ketika agama Kristen diadopsi sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi selama pemerintahan Kaisar Konstantin pada abad ke-4 Masehi, peradaban Kekaisaran Romawi pada saat itu sudah sangat tinggi yang diwarisi dari pendahulunya, yaitu peradaban Yunani.
Kesadaran ini telah menanamkan di dalam diri setiap orang kepercayaan kepada diri sendiri, kepercayaan kepada rakyat, serta kemampuan rakyat untuk menyelesaikan masalah-masalah duniawi mereka tanpa memerlukan bantuan Tuhan dalam setiap urusan kecil maupun besar, yang membuat mereka yakin bahwa urusan negara dan sistem pemerintahan beserta kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya bersifat profan untuk kepentingan manusia bukan untuk kepentingan Tuhan di langit, dan bahwa apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat dan diterima oleh rakyat tentu juga akan diridhai oleh para penghuni langit karena Tuhan sendiri pasti menghendaki yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.
Perlu dijelaskan bahwa sekularisme Barat-Kristen tidak hanya melihat agama semata, tetapi posisi agama itu sendiri di dalam masyarakat, juga fungsi dan hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan yang lain, sebagaimana demokrasi telah mengembalikan kepada warga negara Barat kemanusiaannya, mengukuhkan kewarganegaraan yang membatasi sektarianisme dan sukuisme, dan mengubah hubungan antara pemerintah dan yang diperintah dari hubungan pemimpin dan yang dipimpin menjadi hubungan kewarganegaraan yang menetapkan hak dan kewajiban bagi pemerintah dan warga negara, menghormati kehendak rakyat dan hak mereka melakukan revolusi guna mengganti penguasa, dan melepaskan dari para penguasa monopoli religius dan sakralitas atau untuk berbicara atas nama Tuhan, artinya sistem demokrasi melepaskan legitimasi agama dari para penguasa.
Di lain pihak, pengalaman sejarah Islam tentang hubungan Islam dengan negara dan hubungannya dengan demokrasi, sikap dan pandangan bermunculan dan masih hangat hingga sekarang.
Puluhan bahkan ratusan seminar dan konferensi ilmiah diselenggarakan yang melibatkan para intelektual dan cendekiawan dari semua latar belakang politik dan pemikiran. Perdebatan ini semakin meningkat di bawah naungan kekacauan Arab Spring, terutama tentang negara sipil (al-dawlah al-madaniyyah).
Sebelum menguatnya Islamisme politik, pendapat yang paling bisa diterima adalah tidak adanya pertentangan antara Islam dan pembangunan negara modern juga antara Islam dan demokrasi sebagai sistem dan mekanisme untuk mengatur kehidupan masyarakat di dalam negara, atau kemungkinan memasuki dunia demokrasi tanpa berbenturan atau bertentangan dengan agama Islam, karena masing-masing dari keduanya memiliki bidang dan coraknya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain.
Para pemikir era kebangkitan Arab-Islam di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah yang paling matang dalam mendekati persoalan ini