Transformasi ini telah membuka cakrawala dialog dan diskusi tentang tema-tema yang sangat kompleks dan sangat urgen yang memerlukan solusi yang efektif.
Kembali ke dua pertanyaan tersebut, Islam, seperti halnya agama lain, punya kontribusi besar dalam menata masyarakat yang berada di bawah naungannya. Dan seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan masyarakat serta tumpang-tindihnya kepentingan ekonomi dan politik, Islam melampaui peran sosialnya, dan dengan sangat cepat berubah menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan negara (mencakup pengelolaan kepentingan ekonomi dan politik warga-warganya).
Undang-undang dan peraturan disusun berdasarkan kepentingan kekuatan yang berkuasa dengan memberikan tafsir-tafsir yang bertentangan dengan agama. Dan bersamaan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dan mekanisme peralihan kekuasaan secara damai, mereka yang bertugas mengembangkan instrumen-instrumen pemerintahan dalam Islam gagal menyelaraskannya dengan negara modern. Akibatnya, agama hanya menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan dan filosofi untuk mengatur dan menundukkan masyarakat.
Berbeda dengan demokrasi yang sejak awal merupakan alat untuk mengatur kepentingan politik dan ekonomi, kekuasaannya diperoleh dari kehendak bebas warga negara, hingga kemudian berkembang menjadi alat paling penting untuk peralihan kekuasaan dan penyelenggaraan negara melalui aturan dan mekanisme tertentu.
Demokrasi adalah ideologi negara yang diciptakan oleh akal manusia yang otoritasnya diperoleh dari kehendak bebas manusia. Menggabungkan atau mencampuradukkan demokrasi dengan Islam atau agama lain akan menciptakan bentuk administrasi yang terdistorsi, dan segala bentuk harmonisasi di antara keduanya memerlukan perubahan radikal dan mendalam pada salah satu atau kedua-duanya secara bersamaan.
Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Kerukunan Umat Beragama
Mengenai keberadaan partai-partai Islam, tidak ada yang menghalangi eksistensinya di dalam sistem demokrasi, atau partai-partai tersebut memiliki agenda politik terkait isu-isu etika dan budaya keagamaan yang berdimensi sosial serupa dengan partai-partai demokrasi Kristen yang tersebar di Eropa, tetapi tanpa sedikitpun menyentuh bentuk negara, nilai-nilai dan peraturan-peraturannya yang dihasilkan dari konsensus umum, atau bahkan netralitas negara terhadap komponen-komponennya, terutama yang bersifat religius, dan tidak dibolehkan menggunakan mimbar keagamaan sebagai tempat propaganda partai.
Dulu Gereja di Eropa berusaha untuk mengontrol seluruh sendi negara. Akibatnya sangat tragis dan berdimensi destruktif, sehingga masyarakat Eropa tidak dapat bangkit sampai mereka memisahkan agama dari negara.
Pembagian peran yang damai antara kekuasaan dan aliran-aliran politik membutuhkan inkubator yang mampu menampung semua orang dan menyediakan lingkungan yang aman bagi penegakan hukum supaya peralihan kekuasaan berlangsung secara baik demi terciptanya negara netral yang melindungi kepentingan warganya jauh dari kekuasaan politik.
Dan saat ini, tidak ada inkubator yang lebih baik daripada demokrasi yang dapat menampung keragaman dan perbedaan di masyarakat, karena demokrasi tidak menghapuskan afiliasi (kepada kelompok apapun) atau membeda-bedakan orang karena perbedaan ras, suku, dan agamanya, melainkan menyamakan semua dan membuat negara berdiri pada jarak yang sama dari setiap orang tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, demokrasi harus menjadi tujuan dasar bagi semua kekuatan politik, bahkan kekuatan Islam, karena demokrasi merupakan sistem yang mampu melindungi kepentingan setiap orang dan memberi setiap orang kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa membedakan satu pihak dengan mengorbankan yang lain.
Demokrasi mampu memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menjalankan keyakinan dan ritual agama mereka tanpa diskriminasi, agresi, atau preferensi terhadap satu agama di atas yang lain.