Islamina.id – Banyak orang yang menganggap tasawuf dianggap sebagai ‘kambing hitam’ penyebab kemunduran peradaban manusia, khususnya Islam. Adanya sekelompok orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari kehidupan sosial hanya demi untuk mendalami tasawuf sebagai upaya pendekatan diri kepada Tuhan, adalah bukti paling nyata yang dapat menjustifikasi anggapan tersebut.
Begitu juga, menjamurnya majlis-majlis tarekat yang hanya diisi dengan dzikir-dzikir tanpa gerakan-gerakan konkret-signifikatif untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat menjadi alasan cukup kuat bagi banyak kalangan untuk mengkambinghitamkan tasawuf.
Tentu saja, anggapan negatif tersebut tidaklah sesuai dengan doktrin tasawuf sesungguhnya yang telah dibangun oleh para sufi agung atas dasar semangat untuk mengajak manusia kembali ke jati dirinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Sejarah Tasawuf
Sejarah telah menunjukkan kepada kita kiprah mereka dalam perjuangan membangun moralitas kemanusiaan. Di masa sahabat, misalnya, kita mengenal Abu Dzar al-Ghifari, sosok sahabat yang disebut-sebut menjalani kehidupan asketik.
Ketika kemewahan duniawi mewabah di Madinah karena melimpahnya hasil rampasan perang, dia dengan gagah berani mendatangi khalifah dan menasehati agar umat Muslim kembali kepada kehidupan prihatin, menjadikan dunia hanya sebagai halte pemberhentian sementara dan tidak hanyut dalam tipuan glamoritasnya.
Pada masa dinasti Bani Umayyah, ketika pergolakan politik dan kekuasaan serta perluasan wilayah kekuasaan yang diwarnai atau lebih didominasi oleh kepentingan duniawi, maka para sahabat yang benar-benar menghayati makna-makna moralitas agama menarik diri dan memfokuskan perhatian untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang hakiki.
Kekuasaan-kekuasaan otoriter yang sewenang-wenang atau penjajahan terhadap hak dan derajat kemanusiaan adalah lawan-lawan nyata bagi kaum sufi. Berita tentang perlawanan atau kepemimpinan mereka dalam menentang kesewanang-wenangan para penguasa sudah biasa ditemui dalam buku-buku sejarah atau cerita kehidupan para sufi.
Dengan melihat itu, tidak diragukan lagi, bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah perjuangan dan pemberontakan. Ia adalah perjuangan untuk meninggikan kehendak Tuhan, baik dalam realita kehidupan nyata secara umum, atau yang lebih diutamakan, di dalam hati manusia secara khusus. Ia adalah pemberontakan terhadap segala bentuk dan ragam kepentingan yang dipaksakan masuk, menggoda, dan menguasai hati manusia.
Dari sisi ini, maka medan perjuangan tasawuf terletak dalam hati. Ia adalah pertempuran antara keinginan dan keinginan, antara kehendak dan kehendak.
Baca Juga:
Mengenal Tasawuf dan 3 Pilar Ajarannya
Tasawuf, Sains dan Teknologi
Dunia kita saat ini dipenuhi dengan produk-produk eksplorasi dan evolusi keinginan dan kehendak manusia. Alam dan makhluk-makhluk lain porak-poranda oleh keinginan manusia untuk mendapatkan fasilitas kehidupan.
Sains dan teknologi serta pengembangannya berjalan demi untuk memenuhi keinginan-keinginan dan cita-cita manusia menikmati kehidupan yang serba mewah di dunia ini. Permainan, informasi, prestise, kekayaan, pemuasan nafsu-syahwati yang selalu dipancing setiap saat, kekuasaan dan hak milik, menjadi santapan harian bagi manusia zaman sekarang.
Penemuan baru, gaya dan style baru, penampilan baru dan bahkan kehidupan baru, selalu menggoda hati dan jiwa manusia setiap saat. Tidak ada detik yang terlewati tanpa kehadiran godaan dan keinginan-keinginan tersebut.
Pikiran dan hati manusia saat ini sibuk mengikuti perkembangan-perkembangan yang merayu hatinya yang memang selalu berbolak-balik dan jiwanya yang memang memiliki tabiat ke arah keburukan. Semua itu menumpuk dan berakumulasi menjadi penghalang perhatian hati dari Sang Pencipta.