Apakah dengan demikian tasawuf bertentangan dengan semangat zaman? Atau bertentangan dengan kemajuan dan modernitas? Atau berlawanan dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi? Atau bersebrangan dengan seluruh perkembangan kehidupan manusia berikut segenap dimensi kehidupannya? Atau bermusuhan dengan pembentukan sekaligus pengembangan budaya dan peradaban manusia?
Kita menyaksikan, di masa-masa awal, tepatnya pada fase-fase benih, kelahiran dan pembentukannya, tasawuf memang menitis pada ranah-ranah zhahir dan batin secara nyata.
Dalam artian, spirit, norma, dan etika tasawuf, yang berada pada wilayah batin, terejawantahkan secara faktual dalam realita kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, norma menjauhkan diri dari dunia tidak hanya tertanam dalam hati, akan tetapi juga terimplementasikan secara riil dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, generasi pertama sufi lebih identik dengan zuhud (asketisme), yaitu sebuah ajaran yang menuntun manusia untuk menjauhi dunia.
Asal Istilah Tasawuf
Zuhud merupakan benih awal sebelum kata tasawuf dikenal di dunia Islam. Generasi pertama ini lebih cenderung memiskinkan diri mereka ketimbang berusaha mendapatkan kehidupan yang mapan. Pakaian dan baju mereka pun seadanya, dari yang dapat mereka peroleh tanpa harus menyibukkan diri dan hati mereka dengan upaya untuk memperolehnya. Kehidupan mereka tenggelam dalam ibadah, perenungan, pemahaman, dan penghayatan ajaran-ajaran agama. Kesibukan dan kebahagian mereka terletak dalam kedekatan kepada Tuhan.
Peresapan makna dan pengejewantahan moral tasawuf pada fase keterbentukannya mencakup wilayah-wilayah zhahir dan batin secara nyata sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Bahkan di dalam buku ini, tercantum cerita perdebatan pada abad pertengahan, tentang siapakah yang paling mulia atau tinggi derajatnya; orang fakir ataukah orang kaya? Dan orang fakir, dengan makna kalimat, disepakati mendapatkan derajat yang lebih tinggi dari orang kaya.
Namun hal itu kemudian diikuti dengan pergeseran-pergeseran paradigma. Frekuensi shalat dan puasa yang banyak tidak lagi menjadi jaminan untuk mendapatkan identitas jati diri sufi, namun ia didapati dengan keamanan hati dan kedermawanan jiwa. Kondisi hati, kecenderungan, kebahagiaan, ketundukan, kepatuhan, rasa takut, harapan, cinta, dan bahkan sujudnya hati kepada Tuhan, menjadi standar pencapaian derajat dan level-level spiritual.
Makna batin terkesan cenderung lebih mendominasi, di mana pengejawantahan norma dan moral tasawuf lebih dititik pusatkan di dalam hati dan batin, bukan dalam bentuk-bentuk luar. Hal ini tidak diartikan sebagai penafian atau pengabaian ibadah-ibadah mahdhah. Sebab pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah ini justru menjadi jalan utama menuju Tuhan yang kemudian diikuti ibadah-ibadah sunnah.
Namun makna spiritual yang ada atau yang seharusnya ada di dalam ibadah-ibadah tersebut lebih ditekankan mengiringi bentuk-bentuk luar ritual itu sendiri.
Demikian pula halnya di luar ibadah murni. Ragam bentuk kehidupan yang direpresentasikan dengan pakaian, makanan, minuman, kekayaan, pangkat, kedudukan, dan sebagainya, tidak lagi menjadi standar atau wajah identitas seorang sufi. Seorang sufi bisa saja menjadi seorang presiden, menteri, pejabat, pengusaha, pedagang, petani, nelayan atau apa saja selama norma-norma ajaran sufistik terejawantahkan dalam hati, etika dan moral tingkah lakunya.
Dengan melihat pergeseran-pergeseran paradigma yang terjadi, dapat dipahami bahwa tasawuf sejatinya tidak bertentangan dengan budaya dan peradaban manusia. Secara lebih konkret, tasawuf tidak berlawanan dengan kemajuan sains dan teknologi yang telah dicapai oleh kemajuan akal manusia.
Tasawuf berada dalam wilayah moral dan etika yang mengarahkan manusia dalam seluruh perbuatannya. Tasawuf adalah pendidikan dan pergerakan moral yang menjadikan hati manusia lebih mengutamakan Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupannya.
Adapun pangkat, jabatan, baju, kekuasaan, hak milik, dan segala macam perangkat duniawi yang ada padanya, tidak lain hanyalah bentuk-bentuk zhahir yang dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada Tuhan.
Baca Juga:
Melawan Ekstremisme dengan Sufisme