Menurut penafsiran mereka, jihad tidak bisa dimaknai secara defensif atau hanya bekerja ketika diserang oleh musuh. Jihad pada dasarnya bersifat aktif guna menegakkan keadilan dan kehormatan Islam. Dalam konteks tersebut, selama ada ketidakadilan dan ada kondisi saat kehormatan Islam dirusak, umat Islam wajib berjihad. Dari pemahaman semacam inilah kemudian metode perjuangan bersenjata ala Al-Qaeda mendapat legitimasi. Osama selanjutnya mengarahkan perjuangan bersenjata tersebut untuk memerangi secara total semua kekuatan AS dan sekutunya.
Irisan Al-Qaeda dengan Teroris di Indonesia
Ketika Al-Qaeda lahir di akhir abad 20, Al-Qaeda mendapat tempat di hati para mujahidin di seluruh dunia. Banyak orang dari berbagai dunia terpikat dengan retorika dan sepak terjang Al-Qaeda. Di Indonesia sendiri, sosok macam Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah contoh dari mereka yang terpengaruh dan ikut serta melakukan perjuangan model Al-Qaeda.
Sungkar dan Ba’asyir ialah pendiri sekaligus pimpinan organisasi teroris Jamaah Islamiyah (JI). JI berdiri di awal 1990-an. Awalnya Sungkar dan Baasyir merupakan aktivis Darul Islam (DI) yang dulunya dibentuk oleh S.M Kartosuwiryo. Namun karena perbedaan pendapat dengan pimpinan (DI), pada tahun 1992 Sungkar dan Ba’asyir keluar dari DI. Setelah keluar dari DI, keduanya lalu membentuk JI sebagai wadah baru perjuangan.
JI dalam dinamika gerakan teror di Indonesia terkenal sebagai otak dari berbagai aksi teror yang pernah terjadi. Bom Natal 2000, bom Bali 2002, dan bom JW Marriot 2003 merupakan bukti aktivitas teror JI.
Secara organisasi, tidak ada hubungan antara JI dengan Al-Qaeda. Namun secara visi dan model perjuangan keduanya punya hubungan yang tidak terpisahkan. JI dan Al-Qaeda sama-sama mengambil jalur kekerasan dalam mewujudkan cita-cita perjuangan. Keduanya juga sama-sama menyerang simbol-simbol kekuatan barat.
Hubungan ini diperkuat dengan fakta bahwa sejak 1985, Sungkar ketika masih berada dalam DI rutin mengirimkan anak-anak muda untuk ikut bergabung dalam gerakan jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet. Mereka yang dikirim inilah yang nantinya menjadi pelaku utama dalam rangkaian peristiwa teror di Indonesia.
Kenyataan itulah yang menjelaskan mengapa sesaat setelah JI lahir, menurut Solahudin dalam NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (2011), Sungkar mengontak Osama untuk meminta dukungan atas berdirinya JI. Osama menyambut baik dan bersedia menerima para aktivis JI untuk dilatih secara militer di kamp pelatihan milik Al-Qaeda. Hubungan itulah yang terus berlangsung sekian tahun hingga nantinya kedua kelompok ini redup dengan sendirinya.
Dari situ kemudian dapat ditarik benang merah bahwa meskipun medan jihad kedua kelompok ini berbeda secara geografis, tapi irisan secara ideologis dan gerakan di antara keduanya begitu kentara dan tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Hari ini Al-Qaeda dan JI pengaruhnya sudah cukup minim dalam menciptakan teror ke masyarakat. Hanya saja, kita tidak boleh lengah dan abai dengan potensi kemunculan Al-Qaeda lain atau JI lain di Indonesia.
Indonesia adalah negara damai yang tidak selayaknya diganggu dengan segala aksi kekerasan dalam rupa terorisme. Terorisme selain merugikan, ia juga menciderai nilai luhur kemanusiaan yang dipegang bangsa Indonesia. Untuk itu, segala bentuk terorisme harus ditolak dan dilawan dari Indonesia.
Baca Juga: Membaca Masa Depan ISIS Pasca Keruntuhannya