Buku Teror itu apa sih ?
Podcast Deddy Corbuzier dengan ustad M.Najih Arromadloni bagi sebagian orang mengagetkan, karena buku menjadi media teror, mengajarkan cara pembunuhan. Sebenarnya, ada banyak buku-buku lain yang bisa disebutkan sebagai jalan kematian massal.
1923, Adolf Hitler menulis buku berjudul Mein Kampf (Jerman Perjuanganku). Buku tersebut menceritakan rencana masa depan Hitler untuk bangsa Yahudi. Setelah menjadi pemimpin Jerman, Hitler dengan cepat menjalankan rencananya. Jutaan bangsa Yahudi dieksekusi. Peristiwa itu dikenal dengan holocaust.
Pendeta Jerman Sprenger dan Kramer di tahun 1487 menulis buku Malleus Maleficarum, yang mengulas tentang ilmu sihir oleh wanita. Buku ini konon dianggap sebagai pegangan untuk memburu tukang sihir di zaman inkuisisi Katolik Roma pada abad 15-17. Puluhan ribu perempuan yang dituduh penyihir dibakar, dipancung atau dipermalukan di depan umum.
Perlu juga menyinggung buku The Protocols of the Learned Elders of Zion, sebuah buku yang dirancang untuk menghasut kebencian rasial. Buku ini digunakan oleh orang-orang anti Yahudi untuk menghakimi Yahudi.
Dalam konteks ini, buku-buku yang menjadi inspirasi untuk melakukan kekerasan atau kita sebut dengan buku teror, bukan hal yang baru. Walaupun demikian, buku teror itu tetap sangat berbahaya, apalagi jika dikaitkan dengan doktrin agama yang memiliki dimensi the sacred di dalamnya.
Dalam Islam, sejumlah norma seperti jihad seringkali dijadikan justifikasi untuk melawan dan memberangus orang yang berbeda. Kata jihad itu seringkali disalahpahami, dilepaskan dari makna dan konteks yang lebih luas.
Lalu, apa yang mesti dilakukan oleh kita; bangsa dan warga negara Indonesia?
Negara tentu perlu melakukan pemantauan terhadap buku-buku yang bernuansa ajakan kepada kebencian dan pembunuhan. Bukan saja karena bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga bertabrakan dengan nilai universal, termasuk agama.