Perlukah ulama dibela?
Ulama perlu dibela kalau mengacu kepada hal-hal yang benar. Jadi, ketaatan kita kepada para ulama itu bersyarat. Kalau ketaatan kita kepada Nabi SAW tanpa syarat. Ketika Umar Bin Khattab datang ke Nabi SAW, lalu Umar Bin Khattab menyatakan; “Wahai Muhammad, engkau lebih aku cintai lebih dari keluarga saya sendiri. Lalu kata Nabi, “Keliru Umar, semestinya aku engkau cintai Umar, melebihi engkau mencintai dirimu sendiri.”
Kemudian turunlah Q.S. al-Ahzab ayat 6, yakni Nabi itu lebih utama daripada diri umat Islam sendiri. Makanya, kalau kita shalat fardhu, tiba-tiba Nabi memanggil, kita harus menghentikan shalat. Aṭiullāh wa aṭī’u ar-rasūl itu tanpa syarat. Tetapi taat kepada Ulil Amri mengandung syarat.
Jadi, kita mendukung karena yang menjadi sumber hukum di dalam Islam ini bukan ulama, yang menjadi sumber hukum dalam Islam ini adalah Nabi SAW. Maka dari itu, perbuatan ulama bukanlah sumber hukum. Jadi, kalau ada ulama berdiam diri terhadap terjadinya kemaksiatan, bukan berarti kemaksiatan itu menjadi boleh. Hal ini dikarenakan ulama bukan sumber hukum.
Akan tetapi sekalipun ulama bukan sumber hukum, mereka mengerti sumber hukum. Maka al-Mufti, atau ulama yang memenuhi derajat sebagai mufti, itu seperti menduduki kedudukan para Nabi. Kita sulit mencari orang yang memenuhi derajat sebagai Mufti. Ulama-ulama seperti al-Muzani, kemudian ar-Rafi’i, Imam Nawawi sulit dijumpai.
Hal itu bukan persoalan membabi buta membela para ulama. Tetapi melihat apa yang dilakukan oleh para ulama. Ini penting ditegaskan, karena ulama juga tidak ma’shum. Sejahat-jahatnya ulama, kira-kira mereka adalah mahfūdz. Diharapkan tidak jatuh ke dalam perbuatan dosa besar.
Kalau sampai ada ulama yang mencuri, bukanlah representasi ulama Nabi. Kalau ada ulama yang membunuh, bukanlah ulama Nabi. Tetapi kalau ada ulama yang melakukan dosa-dosa kecil, asalkan tidak istimrar atau istiqamah melakukan hal tersebut, menunjukkan bahwa level mereka bukan Nabi, tetapi mereka masih level ulama.