Keempat, kos-kos-an. Infiltrasi paham dan gerakan radikalisme juga ditempuh melalui kos-kosan mahasiswa. Tak jarang, kelompok-kelompok radikal bergerilya untuk mendapatkan pengikut dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di kos-kosan atau kontrakan, bahkan tak jarang menyediakan kontrakan yang didedikasikan untuk menyebarkan paham radikal.
Kelima, Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia menunjukkan bahwa media sosial makin mempercepat paham radikalisme. Bahkan, menurut hasil penelitiannya pada tahun 2017, dari 75 narapidana teroris yang diwawancarai, ada 9% yang bergabung dengan kelompok terorisme melalui media sosial. Tak bisa dibantah, bahwa merebaknya media sosial dan era digital ini memungkinkan seseorang dapat belajar di mana saja dan kapan saja.
baca juga: Ikhtiar Memutus Sumber Ideologi Kekerasan dengan Penutupan Media Radikal
Keenam, latar belakang keluarga. Sebelum masuk Perguruan Tinggi, beberapa mahasiswa juga terpapar paham radikal, sehingga ketika masuk kampus, maka paham radikal itu pun dibawa. Paham itu bisa saja berasal dari Sekolah atau dari keluarga yang sudah terlebih dahulu terpapar paham radikalisme.
Ketujuh, organisasi dan pengajian. Keberadaan organisasi dan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian, liqo’ juga merupakan pintu masuk radikalisme di perguruan tinggi. Hizbut Tahrir Indonesia memang sudah dibubarkan, namun ideologinya juga tak pernah mati. Bahkan, dengan dibubarkannya HTI, perguruan tinggi semakin kesulitan mengindetifikasi organisasi dan kegiatan seperti apa yang berpaham radikal. Terlebih, organisasi-organisasi dan pengajian-pengajian seperti itu dilakukan secara diam-diam, eksklusif, sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk berpartisipasi.
Kedelapan, literatur. Kemudahan mendapatkan literatur di era digital ini memudahkan paham radikal dapat terakses dengan mudah melalui sejumlah literatur yang bertebaran di internet.
baca selengkapnya di Jalandamai.org