Meskipun tidak secara frontal, fatwa MUI dalam kapasitas perkembangan pemikiran keagamaan cukup lentur. Covid 19 yang dalam hal ini sebagai sains bisa menyebabkan fatwa agama bergeser. Contoh yang riil, terkait dengan prokes shalat berjamaah dengan himbauan agar menjaga jarak. Secara tidak langsung, fatwa tersebut sudah kebalikan dengan ajakan untuk merapatkan barisan.
Kasus lain, seperti bersalaman atau musafahah yang selama ini dianjurkan sebagai tradisi persaudaraan dan mengikuti sunnah. Saat ini, sudah tidak bisa lagi dengan dalih menjaga protokol kesehatan. Atau dianjurkannya untuk tidak mengadakan kegiatan majelis taklim yang berpotensi mengundang kerumunan.
Jika masih dipertentangkan dengan ideologi pra-Covid, maka yang muncul adalah anggapan bahwa anjuran tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam. Namun jika disadari dengan adanya penyebab yang bisa mengakibatkan terjangkitnya penyakit, maka perlu keterbukaan untuk menerima fakta tersebut.
Seperti itulah yang dikatakan oleh Amin Abdullah (2020) bahwa di tengah Pandemi seperti saat ini, pandangan keagamaan harus berubah dari sebelum pandemi. Abdullah mendorong agar semua sarjana muslim bisa menyadari adanya faktor penting tersebut untuk bisa lebih responsive dan melakukan terobosan-terobosan yang relevan.
Sebenarnya, Fatwa MUI di tengah Pandemi juga mengundang kreatifitas sejumlah muslim melakukan terobosan dalam rangka menjaga kesehatan di tengah wabah seperti sekarang ini. Bahkan ada sebagian muslim yang berpendapat pentingnya melakukan ibadah shalat jum’at secara daring (Roland Gunawan 2021). Menariknya kreatifitas mereka juga tidak luput dari landasan argumen yang dianggap otoritatif.
Pada akhirnya, kreatifitas fatwa keagamaan di tengah pandemic inilah yang dibutuhkan masyarakat. Begitu juga apa yang dilakukan MUI merupakan upaya-upaya yang relevan. Seandainya fatwa tentang pengurusan jenazah tidak diberikan, maka akan timbul sejumlah kebingungan yang dialami masyarakat. Pertama adalah mereka yang menangani kesehatan, yang secara basic keagamaan barangkali masih minim. Artinya kreatifitas sebagian muslim jika tidak kunjung muncul menjawab fenomena kemasyarakatan yang sangat cepat berkembang ini, maka bukan tidak mungkin jika masyarakat awam berada pada ketakutan dalam beribadah. Untuk itu yang dibutuhkan adalah terobosan-terobosan baru baik untuk isu agama, sosial, ekonomi dan politik.