Menurut Abdul Qadir ‘Audah, ciri-ciri Dār al-Islām adalah apabila dalam wilayah tampak hukum Islam dijalankan dengan baik dan terang-terangan oleh umat Islam dan mereka aman berada di dalamnya dari ancaman musuh. Sementara menurut Abdul Wahab Khalaf mencirikan dengan suatu wilayah (al-Bilād) dimana hukum Islam dijalankan oleh umat Islam dan penduduk di dalamnya, baik Muslim atau bukan, mendapatkan keamanan yang penuh dari ancaman musuh.
Imam Syafi’i lebih spesifik lagi. Menurutnya, Dār al-Islām merupakan wilayah yang dibangun oleh umat Islam atau melalui kesepakatan damai dan wilayah yang penduduk Muslimnya tidak merasa aman dalam hidupnya maka disebut sebagai Dār al-Kufr. Menurut Abu Hanifah, jika ada suatu wilayah walaupun tidak menerapkan hukum Islam namun di wilayah tersebut umat Islam bisa menjalankan agamanya dengan baik dan aman dalam kehidupannya maka tergolong Dār al-Islām.
Baik Imam Syafi’I mau pun Hanafi rupanya tidak terlalu fokus pada penerapan hukum Islam melainkan lebih kepada terjaminnya umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam atau hukum yang disepakati. Tepatnya, mereka lebih mengedepankan keamanan (al-Amnu) dan kedamaian (al-Ṣulḥ). Hal ini sesuai dengan pendapat Fakhruddin al-Razi dimana keadilan dan kedamaian ditegakkan maka disanalah hukum Allah (as-syar’iyyah al-Islamiyyah). Karena tujuan dari tegaknya Negara Islam memang lebih kepada kedamaian dan keadilan.
Melihat defenisi dan ciri Dār al-Islām di atas maka jelas bahwa Indonesia sudah masuk dalam kategori Dār al-Islām. Di Indonesia, agama Islam tidak hanya mendapat tempat yang layak tapi juga mendapat fasilitas khusus dari Negara. Keikutsertaan Negara dalam pelaksanaan Haji, penentuan satu ramadhan dan satu syawal, dan jadwal shalat merupakan bukti bahwa umat Islam bebas menjalankan hukum Islam di Negri ini. Oleh karena itu memerangi Negara ini merupakan kesalahan fatal secara Islam. Wallahu a’lam.
Baca Juga:
Penjelasan Istilah Dār al-Islām dan Dār as-Salām yang Jarang Diketahui