Pernikahan merupakan suatu ikatan yang kuat antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk meneruskan keturunan. Adapun pengertian nikah menurut ulama fikih adalah akad yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat. Hukum nikah disunnahkan bagi orang yang sudah butuh dan memiliki biaya untuk nikah. Dalil anjuran nikah sangat banyak sekali, salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut ini :
: عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Wahai para generasi muda, barangsiapa diantara kalian telah mampu menikah maka menikahlah karena dapat lebih menundukkan penglihatan dan lebih menjaga farji dan barangsiapa belum mampu menikah , maka hendaknya ia berpuasa karena dapat menjadi penekan nafsu syahwat baginya. (H.R Bukhari)
Hukum asal nikah adalah mubah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah). Berbeda dengan dzahiriyah yang menyatakan hukum wajib nikah. Konsekuensinya, berdosa bagi orang yang tidak menikah. Hal ini berdasarkan dzahir Alquran surah an-Nisa’ Ayat 3.
Syekh Ali as-Shabuniy dalam Rawai Al-Bayan, menjelaskan bahwa di kalangan Syafi’iyah rukun nikah terdapat lima perkara yaitu:
- Zauj atau mempelai pria
- Zaujah atau mempelai perempuan
- Wali yaitu orang tua atau keluarga calon istri
- Dua orang saksi
- Shigat yang meliputi ijab dari pihak wali dan qabul dari pihak zauj
Dalam konteks bernegara, hukum fikih berhadapan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kelengkapan unsur rukun dan syarat dalam fikih tidak hanya diadopsi dalam hukum positif, tetapi juga mensyaratkan hal lain berkenaan administrasi kewarganegaraan. Salah satu syarat penting dari status sah adalah adanya pencatatan.
Nikah belum dikatakan sah ketika belum dicatat oleh negara. Hal ini berdasarkan peraturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 5 disebutkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam “harus” dicatat.
Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1946 Jo. UU No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan dimaksud dalam artian setiap perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah. Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata “harus” di sini adalah dalam makna “wajib” menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah “tidak mempunyai kekuatan Hukum”.
Sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan “hanya” dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.
Hal pencatatan nikah tentunya perlu mendapatkan perhatian lebih karena masyarakat sekarang ini seringkali menganggap sah atau tidaknya pernikahan terbatas pada apa yang ada di ‘kitab kuning’ saja, tanpa melihat hukum positif yang berlaku. Ketika hal pencatatan nikah masih belum dianggap serius bukan tidak mungkin tujuan dari nikah tidak akan tercapai, karena pasangan yang menikah tanpa dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) nikahnya belum dianggap sah oleh negara. Akibatnya, timbul masalah yang beruntun baik itu pada pasangan yang menikah ataupun anaknya, karena pasangan yang belum mencatatkan nikahnya di KUA tidak akan mempunyai akta nikah sehingga nantinya akan kesulitan ketika harus membuatkan surat-surat yang diperlukan seperti akta kelahiran dan semisalnya.