Badan Intelijen Nasional melaporkan bahwa ancaman negara saat ini diantaranya adalah covid-19, konflik antar suku, ras, agama dan golongan, separatisme, radikalisme, hoaks di media sosial dan juga cyber attack. Media masih menjadi sasaran empuk untuk tumbuh dan berkembangnya radikalisme dan lebih-lebih bagi para remaja. BNPT menyebutkan bahwa 85 persen generasi muda rentan terpapar radikalisme. Sedangkan 80 persen pengguna media sosial adalah para remaja. Media digital ini menjadi sangat mudah untuk dikuasai, sangat gampang untuk mendapatkan simpati akan tetapi sangat rentan dalam hal otorisasi.
Pengguna media sosial sendiri didominasi oleh para Generasi Millenial (Gen-Y) dan Generasi Alpha (Gen-Z), Jim Marteney menandai generasi millenial ini dengan karakter mereka yang menjadikan media sosial sebagai lifestyle, tidak berhenti disitu generali alpha bahkan menjadikan media sosial sebagai bagian dari kehidupan mereka. Kedua generasi inilah yang kemudian menjadi digital native atau mereka yang ‘berhak’ menjadi juru bicara dunia digital, menjadi representasi dan mempunyai otoritas dalam dunia mereka.
Fakta ini memberikan tawaran menggiurkan bagi siapa saja untuk bisa mengambil lahan virtual tersebut untuk dikuasai termasuk oleh mereka yang ingin menyebarkan paham radikal. Medan jihad sekarang bergeser menuju jihad virtual, membangun narasi lewat media digital, merebut otoritas dan menancapkan ideologi di kalangan digital native. Tidak jarang para martir yang berhasil mereka rekrut adalah para generasi digital native, yang menemukan ke-Islamannya di media sosial atau media digital.
A.M. Hendropriyono memaparkan bahwa terdapat tiga tahap penting dalam kegiatan terorisme, pertama adalah epistemologi dan pemahaman terhadap ideologi terorisme, kedua adalah gerakan dan jaringan yang dikembangkan untuk melancarkan aksinya, dan ketiga adalah aksi dari terorisme itu sendiri. Sebelum mereka sampai pada tahap ketiga, maka tahap pertama ketika mereka mempresentasikan ideologi mereka, harus kita imbangi dan kita luruskan dengan kontra narasi terhadap konsep yang mereka bangun. Ideologi yang mereka yakini tidak jarang diambil dari nilai kebenaran dari kaidah-kaidah Islam yang mereka tafsirkan kemudian dimanipulasi sesuai dengan kepentingan mereka.