Belakangan ini, sekurang-kurangnya kita menghadapi empat fakta umat Islam di Indonesia, di mana antara satu fakta dengan fakta lainnya saling terkait dengan yang lain. Pertama, kita cenderung bersikap keras dan tegas kepada orang lain, dan lembek kepada diri sendiri. Artinya, kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, sekalipun sedikit, seketika kita mengutuknya, sementara kita lupa mengutuk kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri. Kita lebih sering menghakimi orang lain ketimbang diri sendiri. Kita lebih pintar menilai orang lain ketimbang menilai diri sendiri. Kondisi ini persis seperti yang disabdakan oleh nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
يُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاة فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجَذَل- أو الجَذَع – فِي عَيْنِ نَفْسِهِ
Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya
Nabi bersabda
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
Kedua, karena sikap keras kepada orang lain dan lembek kepada diri sendiri, kita mudah sekali menuduh orang lain sesat dan kafir, sementara kita lupa berkaca, apakah iman kita sudah benar, tauhid kita sudah benar sebagaimana yang digariskan oleh Allah S.W.T melalui nabi Muhammad S.A.W. Padahal, penentuan tak ada seorangpun di antara kita yang bisa masuk dan membaca hati orang lain, apakah ia beriman ataukah tidak. Ini karena, penentuan apakah seseorang beriman ataukah kafir murni ditentukan oleh hati kita, oleh iman kita. Sekalipun kita misalnya menjumpai seseorang sholat, tetapi belum tentu dalam dadanya terdapat iman.
Nabi bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”
Dalam hadist lain disebutkan
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)
Ketiga, dengan ibadah yang kita lakukan, seringkali menjadikan kita merasa lebih baik dari orang lain. Kita seringkali mengandalkan ibadah kita, sholat, puasa, zakat dan bacaan qur’an sebagai garansi atau jaminan bahwa kita lebih baik dari orang lain, sehingga kita merasa kelak berhak mendapatkan surga dari Allah. Padahal, jika kita mau jujur, seluruh ibadah yang kita lakukan, sholat, puasa, zakat, haji ditambah dengan sejumlah shalat sunnah dan bacaan Qur’an tidak bisa dipertukarkan dengan rahmat dan Rahim yang Allah berikan kepada kita setiap saat.
Terhadap hal ini, Allah mengingatkan kita sebagaimana yang termaktub dalam surat An-najm ayat 32:
هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa
Nabi pun bersabda:
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim no. 2142).