Dalam ketentuan hukum Fiqih, orang-orang yang berhak mendapatkan bagian daging kurban memang dikhususkan untuk mereka yang membutuhkan lebih dahulu, meskipun juga tidak mengecualikan untuk semua umat muslim. Dalil yang digunakan sangat populer di kalangan para ulama, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, “Simpanlah 1/3 dari dagingnya dan sedekahkanlah sisanya.”
Mayoritas ulama menguatkan pendapat ini, yaitu menganjurkan untuk membagikan yang 2/3 dari daging kurban itu. Dalam kitab Fathul Qarib terdapat qaul ulama yang menganjurkan untuk mendistribusikan semua dagingnya dengan tujuan meraih berkah yang melimpah. Alasan ini cukup rasional karena biasanya orang yang berkurban tidak tertarik dengan daging dari hewan yang dikurbankan.
Dan qaul tersebut juga digunakan sebagai argumen oleh Menteri Agama, Fachrul Razi pada tahun 2020 lalu saat memberikan sosialisasi terhadap pentingnya memperhatikan manfaat kuraban dan pelaksanaannya di era Pandemi.
Selain itu juga sebagai bentuk perhatian yang dicurahkan kepada orang-orang yang belum mampu berkurban untuk bisa menikmati daging. Adapun yang dianjurkan oleh para ulama Fiqih adalah pembagian daging kurban ketika masih segar atau mentah.
Namun fakta yang terjadi mengalami perkembangan. Misalnya, daging sering melimpah dari para pengurban yang berada di perkotaan dan kurbannya dilaksanakan di perkotaan pula. Masyarakat setempat banyak yang tidak tertarik mendapat bagian dari hewan kurban tersebut, sedangkan daging harus didistribusikan kepada masyarakat.
Di sini yang melatarbelakangi munculnya fatwa MUI Nomor 37 Tahun 2019, yang menyatakan, hukum membagikan daging kurban dalam bentuk olahan dan diawetkan adalah boleh (mubah). Dasarnya adalah pertimbangan kemaslahatan dengan ketentuan berikut: Pertama, didistribusikan secara tunda untuk lebih memperluas nilai maslahat daging kurban. Kedua, dikelola dengan cara diolah dan diawetkan, seperti dikalengkan dan diolah dalam bentuk kornet, rendang, atau sejenisnya. Kemudian yang ketiga, didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan.
Fatwa tersebut bisa menjadi model Fiqih Pembagian daging kurban yang relevan dengan fakta aktual yang terus berkembang di masyarakat. Karena orang-orang mampu di perkotaan lebih berpotensi menyalurkan kurbannya di wilayahnya sendiri. Sehingga dampaknya bisa membuat over kapasitas.
Fiqih Kurban Di Era Pandemi
Fatwa MUI tersebut sangat relevan sebagai model Fiqih Pembagian Daging kurban di era Pandemi. Pasalnya, yang hendak diatur tidak hanya model yang didistribusikan saja tetapi juga mengatur cara pendistribusian, dengan memperhatikan standar protokol kesehatan.
Alasan tersebut dalam rangka menanggulangi terjadinya kerumunan saat terjadi pembagian daging kurban di lokasi pembagian yang sering terjadi di beberapa tempat. Selain itu kondisifitas keadaan juga perlu pengawasan yang ketat sehingga perlu model baru sebagai cara pembagian daging kurban yang tidak memantik kerumunan dan penyebaran virus Covid-19.
Di sisi ini kesempatan yang sangat tepat mengingat panitia pelaksanaan kurban memiliki kontrol penuh atas pendistribusian. Karena jika mengacu pada momen kurban sebelum pandemi ada orang-orang tertentu yang mengambil jatah banyak untuk ditimbun. Sedangkan jika panitia bisa memanfaatkan momen ini dengan baik, maka tidak ada lagi keserakahan seperti itu terjadi.
Usulan MUI untuk mengambil langkah pendistribusian dengan cara diawetkan demi bisa menjangkau ke daerah-daerah terluar ini sangat tepat. Karena biasanya di daerah-daerah itu sangat minim pendistribusian daging kurban, karena orang-orang perkotaan yang mampu berkurban sangat banyak dan lebih memilih untuk kurban di wilayahnya.
Dalam prinsip Islam, ini juga senada dengan yang disampaikan Al-Qur’an dalam surah al-Hasyr ayat 7, “agar harta itu tidak hanya berkutat di antara kalian saja.” Terobosan MUI seperti demikian sangat tepat sekali dengan misi pemerataan kenikmatan dari daging kurban secara luas, yang tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang ada di perkotaan saja, tetapi juga menjangkau hingga ke daerah-daerah yang masyarakatnya lebih membutuhkan.
Baca Juga:
Dinamisasi Fatwa MUI di tengah Pandemi dan Dampaknya di Masyarakat