Rabu, 3 Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama meluncurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di lingkungan sekolah Negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah. Salah satu keputusan utamanya adalah keharusan bagi Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah untuk mencabut aturan terkait keharusan maupun larangan penggunaan seragam maupun atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri.
Bisa langsung ditebak bahwa terbitnya SKB Tiga Menteri tersebut sesungguhnya merupakan respon pemerintah terhadap kasus aturan wajib “hijab” bagi seluruh siswi, baik Muslim maupun non-Muslim, di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, yang belakangan viral di media sosial.
Masalah hijab memang selalu menjadi perdebatan hangat, bahkan hijab seakan-akan telah menjadi standar makna, tujuan dan karakter Islam di mata non-Muslim, yang membuat negara-negara non-Muslim memandang bahwa hijab adalah slogan politik yang mengarah pada pembedaan antara warga negara dan diskriminasi di antara mereka yang rentan memicu terjadinya konflik dan perpecahan yang mengancam persatuan bangsa.
Baca juga: Siswi Non-Muslim Pakai Jilbab VS Muslimah Lepas Jilbab
Pada tahun 2013 yang lalu Universitas Al-Azhar menganugerahi Syaikh Musthafa Muhammad Rasyid gelar doktor dalam bidang Syariah dan Hukum dengan predikat Cumlaude untuk disertasinya yang secara khusus mengulas tentang apa yang biasa disebut “hijab” (penutup kepala untuk Muslimah) dari sudut pandang fikih yang menegaskan bahwa itu bukan kewajiban Islam. Dalam disertasinya, Syaikh Rasyid menunjukkan bahwa “penafsiran ayat-ayat yang terlepas dari situasi-situasi historis dan asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat)” telah menyebabkan kebingungan dan penyebaran pemahaman yang salah tentang “hijab” bagi perempuan dalam Islam.
Syaikh Rasyid menganggap bahwa sebagian mufassir menolak untuk menggunakan akal dengan mengutip teks-teks agama bukan pada tempatnya, dan bahwa masing-masing dari mereka menafsirkannya baik atas kemauan sendiri yang jauh maknanya yang hakiki, atau karena kurangnya “kemampuan analitis akibat petaka psikologis”. Sebabnya adalah terhentinya aktivitas ijtihad di kalangan ulama, padahal seorang mujtahid akan menerima kebaikan dari Allah meskipun ia melakukan kesalahan.
Syaikh Rasyid percaya bahwa di masa sekarang kaidah yang berlaku di kalangan sebagian besar ulama kontemporer adalah kaidah “naql (teks) sebelum ‘aql (rasio)” yang diadopsi di dalam kajian-kajian Islam, bukan hanya dalam masalah hijab, tetapi juga dalam masalah-masalah penting lainnya, sehingga menutup celah bagi umat Muslim untuk maju dibanding umat-umat yang lain.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hijab? Apa dalil-dalil yang diklaim sebagai dasar kewajiban hijab di dalam Islam? Di sini kita akan mendiskusikan dalil-dalil tersebut secara rasional, logis, dan argumentatif sehingga kita tidak membebani Islam dengan sesuatu yang tidak dibawanya. Sejauh ini dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang memandang hijab sebagai kewajiban Islam cenderung membingungkan dan tidak berhubungan: kadang dihadirkan dalam makna jilbab, kadang dalam makna khimar, kadang dalam makna niqab, dan kadang dalam makna burqa, yang menunjukkan penyimpangan dari makna yang sebenarnya.
Pertama, kita mengenal hijab secara bahasa sebagai penutup atau dinding (tabir/tirai). Dan ayat-ayat al-Qur’an tentang hijab hanya terkait dengan istri-istri Nabi Saw., yang berarti meletakkan penghalang/tirai antara mereka (para istri Nabi) dan para sahabat. Tidak ada perbedaan pendapat sama sekali di kalangan ahli fikih mengenai hal ini. QS. Al-Ahzab: 53 menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak [makanannya], tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu [untuk menyuruh kamu keluar], dan Allah tidak malu [menerangkan] yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti [hati] Rasulullah dan tidak [pula] mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar [dosanya] di sisi Allah.”
QS. Al-Ahzab: 53 ini mengandung tiga aturan: (1). Tentang perilaku para sahabat ketika mereka diundang untuk makan bersama Nabi Saw.; (2). Tentang peletakan tirai/tabir di antara istri-istri Nabi Saw. dan para sahabat, dan; (3). Tentang ketidakbolehan umat Muslim menikahi istri-istri Nabi Saw. setelah beliau wafat.
Kata “hijab” di dalam ayat tersebut bisa dipahami sebagai peletakan tabir atau tirai di antara istri-istri Nabi Saw. dan para sahabat, dan juga bisa dipahami bahwa peletakan tabir atau tirai itu khusus untuk istri-istri Nabi Saw. saja, bukan untuk budak-budak perempuan beliau, putri-putri beliau, atau perempuan-perempuan muslim lainnya.
Kedua, hijab dimaknai sebagai khimar (kain penutup) dengan landasan QS. al-Nur: 31 yang berbunyi, “Katakanlah kepada perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.“
Sebab turunnya QS. al-Nur: 31 adalah karena perempuan pada masa Nabi Saw. dan masa sebelum itu biasa memakai khimar yang menutupi kepala dan bagian belakang punggung, sementara bagian atas dada dan leher tetap terbuka. Pendapat lain menyebutkan bahwa khimar adalah abaya (gamis), dan ayat ini meminta perempuan-perempuan Muslim untuk menutupkan khimar ke bagian dada mereka.
Dengan demikian, alasan hukum (‘illah al-hukm) turunnya QS. al-Nur: 31 adalah modifikasi kebiasaan yang berlaku kala itu, yaitu bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah dengan dada terbuka. Ayat ini tidak mengandung ketentuan bagi perempuan untuk menutupi dada dengan model pakaian tertentu, dan juga tidak menetapkan kewajiban menutup kepala dengan khimar atau sejenisnya. Dan ayat ini dimaksudkan untuk membedakan antara perempuan Muslim dan perempuan non-Muslim yang pada masa itu biasa keluar rumah dengan bertelanjang dada.
Ketiga, hijab dimaknai sebagai jilbab dengan landasan QS. Al-Ahzab: 59 yang berbunyi, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan karena itu mereka tidak diganggu.”
Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa perempuan di masa itu biasa menampakkan wajah mereka seperti budak perempuan ketika buang air besar dan kencing di tempat terbuka karena di rumah mereka tidak ada toilet, sementara beberapa laki-laki “tak bermoral” mencoba menggoda dan mengganggu mereka saat buang air. Masalah ini didengar oleh Nabi Saw., lalu turunlah QS. al-Ahzab: 59 itu untuk menunjukkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak.
Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Umar ibn al-Khattab, ketika ia melihat seorang budak perempuan menutupi seluruh tubuhnya, ia akan memukulnya sembari berkata, “Lepaskan jilbabmu, kamu jangan meniru perempuan-perempuan merdeka.” Di masa sekarang, manusia budak sudah tidak ada muka bumi. Sehingga alasan hukum (‘illah al-hukm) mengenai kewajiban jilbab tidak berlalu lagi.
Keempat, sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Saw. dari Abu Dawud dari Aisyah bahwa Asma binti Abi Bakr datang kepada Nabi Saw., dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Asma, jika seorang perempuan sedang haid (menstruasi), ia tidak pantas untuk dilihat kecuali ini,” dan beliau menunjuk ke wajah dan tangannya. Oleh sejumlah kalangan hadits dinilai sebagai dalil kewajiban hijab dalam arti “penutup kepala”. Menurut para ulama hadits ini bukan hadits Mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta), tetapi hadits Ahad (hadits yang tidak memenuhi syarat Mutawatir), sehingga tidak bisa dijadikan landasan kewajiban hijab bagi perempuan.
Berdasar uraian di atas, hijab dalam makna apapun sebagai penutup kepala, bukan sesuatu yang wajib bagi perempuan Muslim, apalagi bagi perempuan non-Muslim. Dalam konteks ini, ketentuan kewajiban hijab di sekolah-sekolah negeri, yaitu sekolah-sekolah yang siswa-siswinya terdiri dari beragam penganut agama, tidak saja menyalahi peraturan pemerintah, tetapi juga tidak sesuai dengan tuntunan Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.[]