Keadilan di dalam Islam dipandang sebagai hukum alam, yaitu hukum yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya. Dia berfirman, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu,” [QS. al-Rahman: 7 – 9]. Untuk menegakkan keadilan di antara mereka, Allah ‘Azza wa Jalla mengutus para rasul-Nya. Dia berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan,” [QS. al-Hadid: 25].
Keadilan merupakan nilai mutlak yang tidak dapat dibatasi oleh apapun, baik agama, kepentingan, atau yang lainnya. Banyak sekali teks agama yang menegaskan hal itu dan mendorong umat Muslim untuk melakukan revolusi besar guna menghasilkan undang-undang keadilan dalam kaitannya dengan interaksi sosial, di samping juga membuat peraturan pengadilan dengan menetapkan syarat-syarat yang ketat bagi para hakim; mereka harus berilmu luas, berakhlak mulia, tulus, bersih, suci, berani, dan tegas. Dengan begitu, mereka dapat menempati kedudukan yang tinggi di mata masyarakat, juga akan mampu bersikap independen sehingga tidak ada seorang pun, bahkan penguasa sekalipun, yang dapat mempengaruhi dan mengintervensi keputusan hukum yang mereka ambil.
Keadilan menafikan adanya diskriminasi dalam memperlakukan setiap warga negara. Dalam konteks Indonesia, secara umum, diskriminasi sudah meliputi beberapa aspek. Antara lain ras, suku, warga, agama, ekonomi, pendidikan, status sosial, fisik, usia, dsb. Kasus nyata dari masalah diskriminasi sudah banyak terungkap ke permukaan. Lihat misalnya, bagaimana rakyat kecil dan lemah yang selalu menjadi korban kebijakan, selalu disalahkan dan dikalahkan. Sementara kelompok elit senantiasa diperlakukan istimewa, dimenangkan dan dianak emaskan.
Selain itu, misalnya juga dalam kasus korupsi. Mestinya hukum tidak memihak kepada para penjabat atau orang kaya. Siapapun yang bersalah, harus ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Selama ini di negeri ini banyak terjadi ketimpangan dan ketidak adilan. Misalnya, kalau rakyat kecil mencuri ayam dipenjara, atau bahkan ada yang digebukin sampai mati. Sementara, para pejabat yang korupsi milyaran rupiah dihukum hanya beberapa tahun, bahkan ada yang tidak dihukum sama sekali. Ini jelas tidak adil. Belakangan banyak orang yang menuntut agar para koruptor itu dihukum mati. Sebab bukan hanya negara yang rugi, rakyat juga sangat dirugikan. Krisis moneter yang terjadi di negeri ini sesungguhnya adalah akibat merebaknya korupsi. Makanya jelas, kalau ditimbang-timbang, hukuman penjara beberapa tahun yang ditimpakan kepada para koruptor sangat tidak adil. Bukan hukumnya yang tidak adil, tetapi aparatnya yang tidak becus menegakkannya. Uang telah membuat para hakim bertindak diskriminatif.
Islam sebagai agama rahmatan li al-‘âlamîn, jelas menolak perlakuan diskriminatif seperti itu. Karena Islam sendiri tidak pernah melakukan diskriminasi. Semuanya mendapatkan rahmat sesuai porsi dan posisi masing-masing. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,” [QS. al-Isra`: 70].
Sikap anti diskriminasi ini dipelopori langsung oleh Rasulullah Saw. seperti yang tergambar dalam perjanjian antara umat Muslim dan kaum Yahudi. Di antara isi perjanjiannya adalah, “Jaminan Allah itu satu. Dia melindungi orang-orang yang lemah atas orang-orang yang kuat. Siapa dari golongan kaum Yahudi yang telah mengikuti kami, baginya berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan. Dia tidak boleh dianiaya dan tidak boleh menganiaya. Orang-orang yahudi dari bani Auf adalah satu umat bersama-sama orang-orang yang beriman.”
Misi Islam untuk menebar rahmat yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. tersebut sebenarnya sudah cukup sebagai bukti bahwa Islam anti diskriminasi dan ketidakadilan. Ini sekaligus sebagai tepisan terhadap anggapan yang mengatakan bahwa Islam itu sarat dengan diskriminasi. Lebih konkretnya, kita lihat bagaimana Islam memberi aturan-aturan dalam pelaksanaan urusan kenegaraan. Hal itu dijelaskan secara panjang lebar oleh ulama kontemporer, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili: pertama, penguasa harus tunduk terhadap aturan syariat, juga dituntut untuk menegakkan hukum dan membuat undang-undang yang sesuai dengan kaidah Islam; kedua, seorang hakim tidak boleh membuat syariat baru. Sebab, hal itu telah dilakukan oleh Rasulullah Saw.; ketiga, hakim dan para aparatur negara berkewajiban untuk menetapkan aturan agama dan kaidah-kaidah umum yang telah diatur oleh al-Qur`an dan Sunnah.
Terdapat enam kaidah yang harus dijadikan prinsip dalam penyelenggaraan negara:
Pertama, syûrâ (musyawarah). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam al-Qur`an, “Bermusyawarahlah dengan mereka mengenai urusan itu,” [QS. Ali Imran: 159]. Musyawarah meliputi masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya (peradaban). Musyawarah ini dimaksudkan agar masyarakat juga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan kenegaraan.
Kedua, menjaga kehormatan baik kepada orang-orang yang berbuat baik atau berbuat buruk, Muslim dan non-Muslim. Islam tidak merestui tindakan menghina, mencerca, mencaci, dan merusak kehormatan orang lain. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya darahmu dan hartamu serta harga dirimu itu haram bagi kamu.”
Ketiga, al-hurrîyyah (kebebasan). Kebebasan di sini meliputi dua macam, yaitu: (1). Kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya; (2). Kebebasan berpikir dan berpendapat. Semua warga negara diberi kebebasan untuk menyampaikan kritik dan saran atas kinerja penguasa meskipun hanya rakyak jelata.