Bahkan menurut Engineer, pedang bukanlah satu-satunya senjata dalam berjihad. Namun, senjata yang sebenarnya adalah keyakinan diri dan usaha tanpa henti dalam menebarkan cinta-kasih dan kedamaian serta keadilan dalam menjalani kehidupan. Sebab, Al-Quran menganjurkan untuk senantiasa menyampaikan segala sesuatu dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Karena, hal ini lebih baik daripada menggunakan kekerasan.
Selain itu, Engineer juga merujuk pada QS. Al-Anfal (8): 39, yaitu:
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya supaya agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal (8): 39)
Menurut Asghar Ali Engineer, ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah menginginkan seseorang yang beriman untuk selalu berjuang secara penuh sehingga segala bentuk penindasan yang bermuara pada penyengsaraan masyarakat di muka bumi berhenti. Dan, umat Islam tidak sekadar menjadi “penonton” melainkan juga menjadi aktor dalam mewujudkan perubahan dengan cara bekerja secara aktif atau berjihad.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penafsiran Asghar Ali Engineer terhadap jihad tidak seperti kebanyakan para kelompok radikal-ekstremis yang kerap memaknainya terbatas pada kekerasan. Tetapi, penafsiran Engineer lebih bersifat transformatif dan lebih ‘dekat’ pula pada tatanan kehidupan umat manusia.
Baca Juga: Perjalanan Pemikiran al-Ghazali: Tasawuf (2)