Dalam sebuah pernikahan, mahar atau maskawin menjadi salah satu hal paling utama yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki pada istrinya. Maskawin bukanlah pembelian atau ganti rugi, melainkan adalah hak seorang perempuan atas laki-laki pada waktu melangsungkan akad pernikahan. Karena itu, wajib hukumnya untuk memberikan maskawin terhadap istrinya, kendati bukan termasuk bagian dari rukun pernikahan.
Juga, maskawin sebagai lambang atau tanda cinta seorang calon suami terhadap calon istrinya, sekaligus membuktikan bahwa ketulusan atau kesiapan calon suami untuk membina kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya. Baik dalam keadaan suka maupun duka.
Perihal kewajiban membayar maskawin ini, Allah menegaskan dalam beberapa ayat Alquran. Misalnya, QS. An-Nisa’ ayat 4, yaitu:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (QS. An-Nisa’: 4)
Walau begitu, terdapat beberapa hikmah dibalik pensyariatan (kewajiban) membayar maskawin dalam pernikahan terhadap seorang perempuan. Menurut Djaman Nur, dengan disyariatkannya maskawin tidak lain adalah bentuk penghargaan Islam akan kedudukan dan martabat seorang perempuan. Juga, memberikan hak dan wewenang bagi seorang perempuan untuk mengelola harta atau dirinya sendiri. (Djaman Nur, Fiqih Munakahat, hal. 83)
Sementara Wahbah al-Zuhailiy menyatakan, bahwa hikmah pemberian maskawin dalam prosesi pernikahan kepada pihak perempuan adalah sebagai tanda akan terbentuknya keluarga Mawaddah yang akan ditegakkan secara bersama-sama oleh kedua belah-pihak (suami-istri). Pun, sebagai simbol rasa cinta serta kasih sayang seorang suami terhadap istrinya. (Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqa’idah wa Syari’ah wa Manhaj, Juz III, hal. 235)
Menurut Umar Sulaiman al-Asyqar, hikmah pensyariatan kewajiban membayar maskawin dalam pernikahan antara lain adalah: Pertama, untuk menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, karena keduanya saling membutuhkan. Kedua, sebagai upaya untuk memberikan penghargaan terhadap sosok seorang perempuan, maksudnya bukan sebagai alat tukar yang mengesahkan pembelian.
Ketiga, untuk menjadi pegangan bagi seorang istri; bahwa perkawinan atau pernikahan mereka telah diikat dengan pernikahan yang kuat, sehingga sang suami tidak mudah menceraikan istrinya sewenang-wenang. Keempat, sebagai suatu kenangan dan pengikat rasa kasih sayang antara suami-istri. Dan Kelima, menunjukkan arti penting dan kedudukan sebuah akad nikah, serta upaya untuk menghargai dan memuliakan seorang perempuan. (Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam al-Zawaj fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, hal. 24)