SHALAT MAGHRIB — Ketika matahari meninggalkan kita dan terang berganti dengan gelap, pikiran dan badan kita terasa semakin berat dan lelah setelah seharian bergelut dengan atmosfer keduniaan yang bertautan di antara debu-debu hawa nafsu dan jejaring syahwat yang menganga menunggu mangsa.
Ada satu harapan yang terbersit dalam benak anak manusia saat itu, yaitu keinginan merehatkan diri dan berjumpa dengan sanak keluarga atau handai taulan yang seharian ditinggalkan untuk sekadar mengais rezeki demi sebuah kebahagiaan yang dirajut untuk menyelimuti dan menutupi diri dari dahsyatnya terpaan angin dunia.
Itulah salah satu babak dalam episode perjalanan kehidupan yang hampir setiap hari dijalani saat menjelang terbenamnya matahari tiba.
Pada saat inilah sebuah kewajiban agung yang penuh makna diperintahkan, yaitu ibadah yang dinamakan dengan Shalat maghrib yang dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Waktu Maghrib sampai hilangnya syafaq (mega).” (HR. Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam.” (HR. Tirmidzi)
Sebagaimana terdapat dalam amaliah-amaliah lain, dalam pelaksanaan shalat maghribpun ternyata memiliki hikmat at-tasyri yang begitu mendalam bagi manusia.