Berkaca pada era awal Islam saat menghadapi wabah seperti pandemi ini, seorang sahabat yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf justru membacakan hadis Nabi yang mengatakan, “Jika kalian telah mendapati wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian sedang berada di dalamnya, maka janganlah keluar darinya.” Pesan dari hadis ini tepat dengan tujuan dari PPKM.
Status hadis ini dinilai sahih oleh para ulama. Meskipun ada sekelompok ulama yang menuding jika hadis tentang wabah kebanyakan dlaif. Tetapi okelah terlepas dari status hadis itu, ternyata melahirkan pandangan keagamaan dari para ulama. Bencana wabah Tha’un ini sangat memantik perhatian para ulama untuk bersikap.
Ulama yang terkenal melahirkan karya yang secara spesifik menyikapi wabah, di antaranya ibnu Hajar al-Asqalani dengan nama kitabnya Badzlu al-Ma’un fi Fadli al-Tha’un. Dan juga Jalaluddin al-Suyuthi memiliki kitab Ma Rawahul Wa’un fi Akhbar at-Tha’un. Dua kitab ini juga membandingkan kehadiran Tha’un ini bukanlah peristiwa yang aneh, karena sebelumnya Allah beberapa kali telah menurunkan wabah.
Dalam kedua kitab tersebut, masing-masing penulis berpendapat bahwa dalam menyikapi wabah perlu meningkatkan keimanan, berzikir, menjaga kekuatan tubuh dan tidak melakukan perjalanan yang rentan menjadi penularan. Demikian ini juga sesuai dengan tujuan dari PPKM.
Dalam Al-Qur’an sendiri yang direkam oleh surah Al-A’raf ayat 133 mengisahkan tentang turunnya wabah yang turun sebagai azab untuk umat bani Israil akibat berlaku sombong kepada Musa. Mereka menolak ajakan Nabi Musa untuk taat dan patuh kepada perintah Tuhan. Namun justru menolak dengan kepongahan. Sehingga Allah mengirim wabah tersebut sebagai pelajaran.
Dari kisah-kisah tersebut dipahami oleh para ulama bahwa Tha’un di satu sisi membawa pelajaran agar umat Islam terus meningkatkan ketakwaan. Sebenarnya prinsip demikian itu juga tidak lahir dari ruang yang kosong. Karena sebagaimana disampaikan dalam hadis Nabi Muhammad, bahwa “Telah diturunkan Tha’un bagi umatku yang wafat maka pahala syahid untuknya, dan bagi yang bersabar akan jadi rahmat baginya.”
Majelis Ulama Indonesia pernah mengutip pesan dari hadis tersebut untuk digunakan sebagai dalil pengurusan jenazah COVID-19 yang tidak perlu diperlakukan seperti biasanya. Misal dimandikan tanpa harus melepas pakaian, dikafani cukup dengan satu helai kain saja dan dibungkus plastik jika diperlukan. Aturan-aturan tersebut diberikan untuk menanggulangi terjadinya penyebaran virus dan sesuai protokol kesehatan.
Bagaimana kalau PPKM diperpanjang 6 minggu? Tentu jawaban seperti yang disampaikan oleh para ulama di atas tidak bisa diabaikan. Karena demi menghentikan penularan virus dan menjaga imunitas tubuh. Hanya yang perlu dilakukan adalah bagaimana masyarakat bisa bertahan dengan adanya pembatasan pergerakan tersebut?
Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah yang dalam konteks ini adalah sebagai yang memegang regulasi. Pertama, memastikan masyarakat tetap memiliki imunitas bisa dalam konteks makanan, vitamin, dan bekal yang cukup selama PPKM 6 minggu.
Kedua, pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga lain mendampingi masyarakat untuk mendermakan hartanya dalam rangka kegiatan filantropi. Karena di saat seperti inilah uluran tangan mereka yang memiliki harta lebih sangat diharapkan. Karena dampak dari pandemi ini sangat dirasakan oleh mereka yang kehilangan pekerjaan, penghasilan, hingga yang terpapar. Sehingga PPKM 6 minggu selain diperhatikan dari segi aturannya juga dampaknya.
Ketiga, karena pandemi tidak bisa diprediksi sampai kapan berakhirnya, untuk itu perlu ada upaya-upaya peningkatan mutu sumber daya manusia yang bisa melaksanakan kegiatan ekonomi yang ramah dengan suasana pandemi. Karena sudah saatnya semua tataran kehidupan terus bertransformasi dari yang klasik menuju yang kekinian.
Prinsip-prinsip tersebut pernah disampaikan oleh Syaikh Ali al-Shabuni dalam salah satu karyanya saat menafsirkan kata ulama dan ulul albab. Menurutnya, ulama dan ulul albab harus satu komponen. Karena ulama harus tanggap dengan adanya perkembangan keilmuan sebagai ayat-ayat Allah yang memberikan pelajaran. Termasuk ayat-ayat kauniyah, dalam konteks ini sains.