Peringatan HUT RI tahun ini terasa sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bila tahun-tahun lalu, HUT RI selalu ramai dengan perlombaan dan keceriaan anak-anak. Tahun ini mungkin masih ada, tapi saya kira tidak seceria dan seramai tahun-tahun sebelumnya. Merayakan HUT RI di tengah pandemi bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa HUT RI itu sepatutnya bukan sekedar perayaan saja tapi juga peringatan.
Ada perbedaan mendasar antara perayaan dan peringatan, bila perayaan cenderung pada kegiatan yang ceria dan ramai dan penuh kegembiraan,maka peringatan tidak mesti dengan kegiatan yang membuat ramai sebagaimana perayaan. Baik perayaan maupun peringatan silahkan saja kita melakukannya sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Bukankah kemerdekaan ini adalah “…berkat rahmat Allah yang maha kuasa…” sebagaimana termaktub dalam alinea ketiga pembukaan UUD 1945. Dengan kalimat ini para pendiri bangsa kita menyadari benar bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan dengan cucuran darah terwujud karena berkat rahmat Allah SWT.
Berkat rahmat Allah yang maha kuasa, merupakan kalimat pembuka yang sangat cerdas dan luar biasa yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa kita. Dan saya kira kalimat tersebut menggambarkan betapa nilai-nilai ilahiyah begitu sangat mewarnai pernyataan kalimat kemerdekaan. Sejarah bangsa juga membuktikan betapa para pejuang kita berjuang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah ini.
Kekuatan inilah yang menjadikan mereka begitu mencintai tanah air sehingga berjuang untuk bisa meraih kemerdekaan. Dan sejatinya nilai-nilai ini pula yang sepatutnya menjiwai setiap anak bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Hal ini menjadi penting karena sama-sama kita pahami bahwa pada diri kita ini—dalam tinjauan tasawuf, sedangkal pengetahuan saya—-ada tiga kekuatan hawa nafsu yaitu, quwwatun bahimiyah, quwwatun sabu’iyyah, dan quwwatun syaithoniyah.
Pertama, quwwatun bahimiyah adalah kekuatan kebinatangan yang ada pada setiap manusia. Kekuatan inilah yang mendorong kita untuk mencari kepuasan dan kesenangan lahiriah dan hal-hal yang bersifat sensual. Dan kekuatan ini dibutuhkan karena dengan unsur-unsur kekuatan inilah kita punya nafsu untuk makan, minum dan bahkan hubungan suami istri.
Kedua, quwwatun sabu’iyyah, kekuatan binatang buas. Kekuatan negatif yang ada pada diri kita dimana kita terdorong untuk suka menyerang orang lain, menyakitinya, membenci, mendengki dan bahkan ada keinginan untuk menjatuhkan atau menghancurkannya. Kita seakan belum puas bila belum melakukan hal-hal negatif tersebut.
Kekuatan ketiga, quwwatun syaithoniyah. Kekuatan yang mendorong diri manusia untuk mencari pembenaran (justifikasi) atas perbuatan salah dan dosa yang dilakukannya. Misalnya ketika mengambil hak orang lain, lalu setan membisikkan kita :” tidak apa apa, kan kalau melakukan kesalahan dosanya setimpal tidak berlipat ganda.
Jadi kalau mengambil satu juta ya dosa kamu hanya satu juta, setimpal. Supaya kamu merasa tidak bersalah, kamu sumbangkan saja seratus ribu nanti jadi impas. Bukankah kalau melakukan kebaikan pahalanya berlipat ganda sampai sepuluh kali bahkan lebih. Jadi kamu masih untung sembilan ratus ribu.” Begitulah kekuatan syaithoniyah yang selalu ingin merekayasa dan mencari pembenaran atas kesalahan dan dosa yang dilakukan.
Alhamdulillah, Allah yang penuh rahmah juga menganugerahkan kepada kita satu kekuatan yang merupakan percikan dari cahaya-Nya, dari nur-Nya. Inilah yang kita kenal dengan Quwwatun Ilahiyah (ada yang menyebutnya Quwwatun Robbaniyah). Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita. Bila kekuatan ini yang menguasai diri kita maka kita akan terbimbing untuk menempuh perjalanan ruhani menuju Allah SWT.